Jumat, 24 Oktober 2008

Kekerasan di Sekolah-2

Beranda | Pendidikan/Pesantren
Selasa, 21 Okt 2008 21:28:04
Sekelompok Siswi di Tulungagung Lakukan Kekerasan
Tulungagung - Sekelompok siswi SMA Negeri Gondang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur yang mengatasnamakan dirinya "Geng Nyik-nyik" melakukan tindak kekerasan terhadap siswi lainnya.

Aksi mereka terbongkar setelah beberapa orangtua korban mendatangi sekolah tersebut untuk melaporkan adanya tindak kekerasan tersebut.

"Sudah lama saya diperlakukan kasar oleh mereka, tapi baru kali ini saya mengadu pada orangtua karena tak tahan," kata Oi, siswi SMA Negeri Gondang.

Selain Oi, Vit juga melaporkan masalah itu dengan menunjukkan ponsel yang berisi tayangan tindak kekerasan Geng Nyik-nyik di sekolah itu.

"Tayangan ini diambil dari seorang teman yang diam-diam merekam aksi brutal mereka terhadap para junior," kata Vit mengungkapkan.

Dalam tayangan itu sekelompok siswi yang tergabung dalam Geng Nyik-nyik melakukan penganiayaan terhadap beberapa orang siswi dengan cara menampar muka dan menjambak rambut korban.

Geng Nyik-nyik itu terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama beranggotakan siswi Kelas III yang dipimpin, Prs, warga Desa/Kecamatan Kedungwaru dan Dna, warga Desa/Kecamatan Boyolangu. Sedang kelompok kedua beranggotakan siswi Kelas II dengan koordinator Jvt, PPt, dan Lli.

"Mereka ini tidak segan-segan melukai para siswi Kelas I yang tidak mau membelikan makanan atau mentraktir mereka di kantin sekolah," kata Vit.

Kepala Sekolah SMA Negeri Gondang, Panut Adi Suwignyo, mengaku baru mengetahui adanya geng yang mirip dengan Geng Nero di Pati, Jawa Tengah setelah menerima laporan dari para orangtua korban.

"Saya tahunya dari laporan orangtua siswi pada 15 Oktober 2008 lalu. Saya sudah menindaklanjuti semua persoalan ini," katanya.

Pihaknya sudah memanggil beberapa orang siswi yang diduga melakukan serangkaian tindak kekerasan terhadap juniornya. "Mereka sudah saya peringatkan. Jika tidak mematuhi peringatan itu, mereka akan kami keluarkan," kata Panut seraya menyebutkan, siswi yang tergabung dalam geng itu berjumlah enam orang.


M. Irfan Ilmie


Rabu, 22 Okt 2008 10:00:04
Fenomena Gunung Es Kekerasan di Sekolah
Belum lama ini dunia pendidikan kita dikejutkan oleh tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok siswa putri di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang menamakan diri "Geng Nero".

Banyak pihak meyakini bahwa ulah siswa asal kota kecil di kecamatan itu merupakan fenomena "gunung es". Masih lebih banyak lagi kekerasan lain yang belum terungkap dengan obyek dan subyeknya adalah siswa.

Kini kita dikejutkan kembali dengan ulah siswa putri, juga dari sebuah kota kecamatan kecil di Gondang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Siswa SMAN Gondang itu menamakan diri "Geng Nyik-Nyik".

Tindak kekerasan yang direkam video dan bisa disaksikan lewat ponsel itu dilakukan siswa senior kepada yuniornya. Aksi menyakiti yuniornya itu direkam diam-diam oleh siswa lainnya.

Seorang praktisi pendidikan di Surabaya, Muhammad Iqbal, SAg, MPsi dalam sebuah seminar di Unesa beberapa waktu lalu mengemukakan, kekerasan atau dikenal sebagai "bullying" seringkali dianggap sebagai bagian dari pendidikan mental.

"Karena itu kemudian 'bullying' itu dianggap tidak berbahaya dan justru harus dilalui oleh anak atau murid," kata Kepala SD Khodijah Surabaya itu dalam seminar "Young Hearts: Belajar tanpa Rasa Takut".

Menurut dia, karena seringkali dianggap biasa, maka korban "bullying" itu tidak tertangani di sekolah sampai mereka lulus. Padahal sesuai hasil penelitian, "bullying" itu berdampak pada anak, seperti kecemasan berlebihan, kesepian dan mengalami kegagalan dalam pertemanan.

Lulusan Pasikologi UI yang pernah mengajar di Universitas Bina Nusantara itu mengemukakan bahwa korban "bullying" juga mengakibatkan sulitnya konsentrasi bahkan tidak jarang mereka berkeinginan untuk melakukan bunuh diri.

Sementara Ketua Yayasan Sehati, Diena Haryana, MA mengemukakan bahwa untuk kasus kekerasan oleh Geng Nero dengan pelaku siswa perempuan sudah melebihi batas "bullying".

"Kalau seperti Geng Nero itu bukan 'bullying' lagi, sudah sangat parah," kata lulusan IKIP Jakarta itu.

Iqbal menambahkan bahwa prilaku "bullying" itu memiliki tujuan, antara lain, untuk mempengaruhi orang lain, menunjukkan dominasi atau kekuatan, menjaga "image" pada korban agar "menghormati" pelaku.

Ketua Panitia "Kampanye Antikekerasan di Sekolah" yang digelar Unesa, Djuli Djatiprambudi mengemukakan bahwa seharusnya para pendidik menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan. Namun kenyataannya kekerasan di sekolah sudah berlangsung lama dan hingga kini masih banyak terjadi.

Menurut dia, selain siswa, para guru saat ini juga banyak mengalami "bullying" struktural dari pejabat di atasnya, sehingga mereka menularkan hal yang dialaminya kepada siswa-siswanya.

"'Bullying' struktural yang dialami guru, antara lain, target nilai Unas, target kelulusan dan ketidakjelasan model pembejalaran," kata Ketua Jurusan Seni Rupa Unesa itu.

Menurut dia, regulasi sistem pembelajaran yang tidak stabil karena sifatnya hanya ujicoba, juga membuat para guru tertekan. Sistem pembelajaran yang satu belum dinilai berhasil sudah diganti dengan sistem lainnya.

"Semua itu menjadi beban bagi guru yang pada ujungnya siswa menjadi korban. Karena itu, sudah saatnya semua pihak berkomitmen untuk menciptakan sekolah yang ramah dan humanis," kata Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa Unesa itu.

Secara strukural, katanya, juga banyak guru yang mengalami tekanan dari kepala sekolah. Kepala sekolah juga mengalami tekanan dari atasannya dan tekanan itu berjenjang ke atasnya, bahkan hingga ke tingkat menteri.

Selain itu, media massa juga diyakini ikut andil dalam praktek kekerasan di masyarakat, termasuk di sekolah. Hal itu diakui oleh seorang wartawan senior di Surabaya, Drs Djoko Pitono.

Serbuan media yang mempromosikan kekerasan, katanya, khususnya televisi kepada anak-anak memang sangat luar biasa dan semakin lama semakin besar.

"Namun sebenarnya para guru, orangtua murid dan pemangku pendidikan lainnya juga punya kekuatan besar untuk membendungnya," kata Djoko.


Bentuk Kekerasan

Kekerasan di sekolah bisa dilakukan oleh murid kepada murid lainnya, guru, pejatan struktural atau sistem pendidikan yang tidak membuat siswa nyaman belajar.

Iqbal mengatakan, bentuk "bullying" itu adalah, segala sesuatu yang ditujukan untuk menyakiti orang lain. Dalam hal ini, membentak teman atau adik kelas di sekolah juga tergolong dalam prilaku "bullying".

"Bentuknya memang bermacam-macam. Membantak itu adalah bibit dari bullying. Di Jakarta ada adik kelasnya ditelanjangi, ada yang diculik. Pernah ada karena adik kelasnya itu memakai bra yang tidak disukai kemudian suruh copot oleh si kakak kelas. Kan bahaya ini," katanya.

Bentuk-bentuk bibit "bullying" yang dilakukan oleh kakak kelas ke adik kelasnya terjadi saat masa orientasi sekolah (MOS) untuk siswa baru. Bahkan tidak jarang, kepala sekolah justru mendukung prilaku kekerasan untuk siswa barunya.

Djuli Djatiprambudi mengemukakan, dari catatan Unicef tahun 2005 menunjukkan, terdapat 35 bentuk kekerasan di sekolah yang terbagi dalam tiga kategori, yakni fisik, seksual dan psikis. Bahkan bentuk kekerasan di sekolah lebih banyak dibandingkan di rumah, jalanan maupun di masyarakat.

Menurut dia, ujian nasional (Unas) juga merupakan salah satu bentuk kekerasan, bahkan cenderung menjadi "teror" bagi para siswa, guru dan aparat pendidikan di atasnya.

"Kalau Unas banyak yang tidak lulus, guru diteror oleh Kepala Dinas Pendidikan kabupaten atau kota. Kepala dinas itu diteror oleh kepala dinas provinsi, kepala dinas provinsi diteror oleh menteri dan seterunsya. Ujung-ujung yang terteror adalah siswa," katanya.

Dikatakannya, selain akibat sistem pendidikan, teror juga terjadi antara siswa terhadap siswa lainnya, bahkan bisa jadi dari siswa kepada gurunya.

Ia mengemukakan, lewat kegiatan kampanye, pihaknya ingin mengungkap berbagai bentuk kekerasan di sekolah yang saat ini tingkatnya sudah sangat kritis sehingga dampaknya luar biasa bagi anak didik.

"Di Surabaya ini ada beberapa yang terungkap dan yang terakhir adalah kasus anak SD yang dijewer telinganya hingga melepuh. Saya kira ini baru yang tampak, sementara yang belum teridentifikasi masih lebih banyak," katanya.

Sementara di kalangan siswa, Djuli mengemukakan bahwa saat ini juga masih sering terjadi "bullying", seperti beban pelajaran yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan kejiwaan anak-anak.

"PR yang diberikan guru di luar batas kemampuan anak masih sering terjadi. Bahkan anak kelas VI SD saja harus membawa buku setiap hari yang beratnya bisa 10 kilogram. Itu semua juga 'bullying' yang harus dihentikan," katanya.


Alternatif aktivitas

Djoko Pitono menganjurkan, untuk menghilangkan kekerasan, harus ada aktivitas alternatif pada anak-anak. Penyediaan buku-buku dan bacaan lain, termasuk buku seni dan sastra, aktivitas olahraga dan lainnya akan sangat membantu.

Pengarang dan editor buku itu mengemukakan bahwa sangat penting memberikan buku-buku seni bagi anak karena sangat besar pengaruhnya untuk membersihkan jiwa dan pikiran anak-anak serta memperhalus budi pekerti.

"Anak yang sejak dini didorong untuk membaca buku-buku seni dan sastra jelas akan membuat mereka tumbuh menjadi orang-orang yang halus dan peka terhadap lingkungannya," ujar alumni IKIP Negeri Surabaya itu.

Ia menegaskan bahwa kepedulian lebih besar kepada anak sekolah juga perlu dilakukan dalam hal penggunaan bahasa yang lebih simpatik dan menunjukkan apresiasi dari lingkungannya.

"Sudah bukan zamannya lagi cara-cara diktator digunakan untuk mendidik anak-anak kita, baik guru maupun orangtua. Kepedulian itu juga bisa diwujudkan dengan melayangkan kritik kepada pengelola media yang menayangkan kekerasan," katanya.

Sementara menurut Iqbal, "bullying" adalah masalah yang cukup kompleks yang tidak hanya bisa diselesaikan oleh siswa maupun guru, melainkan harus melibatkan juga orangtua yang harus bekerja bersama-sama.

Iqbal menganjurkan, pengurangan sikap kekerasan itu, antara lain dapat dikurangi dengan memberikan saluran kepada anak-anak sekolah untuk mengekspresikan potensinya.

Kampanye yang dilakukan oleh sejumlah organisasi, seperti Plan Indonesia dan Yayasan Sejiwa dengan Unesa juga merupakan salah satu cara menciptakan sekolah yang nyaman dan aman bagi siswa.

Masuki M. Astro

Tidak ada komentar: