Rabu, 04 Februari 2009

Posisi dan Problem Penyutradaraan Teater Pelajar

Oleh Autar Abdillah
Teater Pelajar lebih berkonotasi pada teater sekolah menengah umum maupun kejuruan (SMP/MTs; SMU/MA; SMK). Di samping teater pelajar, juga dikenal istilah teater remaja yang lebih berkonotasi pada teater kalangan SMU/MA maupun SMK. Namun demikian, teater remaja bukan semata-mata kalangan sekolah. Mereka juga kalangan yang putus sekolah atau yang berada pada tingkat usia remaja, atau di bawah dua puluh tahunan.
Entah sejak kapan nama teater pelajar ini muncul, dan untuk apa pula penamaan semacam ini digunakan. Namun yang pasti, teater pelajar merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pertumbuhan teater itu sendiri. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI) –dalam hal ini Pusat Perbukuan, bekerjasama dengan Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) bahkan sedang merancang buku pelajaran teater untuk SMP/MTs; SMU/MA; dan SMK, baik negeri maupun swasta.
Apabila kita menilik ke belakang, kalangan terpelajar Indonesia masa lalu, atau setidaknya era Boedi Oetomo, telah mulai melakukan berbagai upaya transformatif. Embrionya dimulai dengan munculnya “Komedi Stamboel” di akhir abad sembilan belas, rombongan kedua teater ini muncul di Surabaya pada 1891. Kegairahan terhadap teater, khususnya teater yang bernuansa melayu sedemikian besar. Namun demikian, teater-teater rakyat yang muncul lebih dahulu dengan media tutur dan berkembang ke dunia panggung teater, tidak pernah luntur. Bahkan, teater-teater rakyat tersebut mampu menciptakan persaingan yang sehat, hingga zaman keemasannya pada 1920-1930-an.
Dalam memasuki abad kedua puluh, juga diwarnai munculnya teater opera Cina pada 1909. Nasibnya tak lebih baik dengan Komedi Stamboel yang mulai melemah dengan lahirnya kegairahan baru dalam memahami idiom maupun metode teater yang datang dari Rusia dan Inggris, bahkan Jerman, Perancis, Amerika dan negara-negara Skandinavia pun turut menyumbangkan pandangan-pandangan baru teater selanjutnya. Dengan demikian, kalangan terpelajar Indonesia yang masih berada di bawah penjajahan Belanda maupun Jepang memiliki banyak kesempatan memahami berbagai disiplin maupun pandangan teater.
***
Paling tidak, sejak 1913, kalangan terpelajar Indonesia menikmati karya Victor Ido yang diterjemahkan oleh Lauw Giok Lan menjadi Karina Adinda, seperti ditulis oleh Tjiong Koen Bie (1913) dan Jacob Sumardjo (1992). Kesadaran baru pada masa-masa itu, melahirkan banyak lakon-lakon perjuangan tanpa mengurangi upaya-upaya penerjemahan maupun saduran dan adaptasi yang terus menerus terhadap lakon-lakon yang datang dari dataran Eropa.
Setelah tiga puluh tahun Indonesia merdeka, meski terjadi sejumlah perubahan yang mendasar, namun saat inipun masih dapat kita saksikan, kalangan terpelajar kita menggunakan lakon-lakon yang seharusnya sudah mereka ‘reformasi’ untuk kepentingan diri mereka. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar teater pelajar justru tidak memotivasi diri mereka sendiri, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Mereka masuk dalam kubangan motif pertunjukan yang mengasingkan mereka pada dunia keseharian. Hanya beberapa kelompok teater pelajar yang mencoba melakukan berbagai penggalian untuk menemukan karakter teater dari kalangan terpelajar yang mereka sandang sebagai bagian dari identitas mereka.
Motif pertunjukan yang menjadi dasar pada teater pelajar sekarang ini berdampak cukup serius pada rendahnya apresiasi teater yang mereka hidupkan. Hal ini disebabkan oleh pengambilan bahan-bahan pertunjukan yang semata-mata pada teks lakon, apalagi teks lakon tersebut “diwajibkan” pada mereka untuk menggunakannya. Sementara itu, media untuk memasuki teks-teks lakon tersebut sangatlah terbatas. Keterbatasan tersebut bukan saja karena asumsi perkembangan teater yang masih belum memadai dalam menghadapi pertumbuhan aktivitas diluar teater, tetapi juga keterbatasan motivasi yang telah terlanjur menjadikan teater semata-mata sebagai sebuah pertunjukan.
Di samping itu, bagi kalangan sekolah, suatu aktivitas siswa dilihat dari kemampuan siswa untuk meraih prestasi yang mengharumkan nama sekolah. Dengan kata lain, kegiatan atau aktivitas berteater di sekolah tidak dilihat dari proses pencapaian teater tersebut dan dampaknya pada aktivitas belajar. Dan, lebih ironis lagi, masih terdapat sejumlah sekolah yang melakukan larangan tidak tertulis, bahwa berteater di sekolah tersebut diharamkan. Tidak ada sarana, apalagi izin untuk mengikuti kegiatan teater.
***
Masing-masing wilayah di Indonesia, memang memiliki tingkat yang berbeda dalam memasuki dunia teater. Bahkan, antar wilayah di Jawa Timur pun memiliki perbedaan signifikan satu sama lainnya. Hal ini ditentukan oleh tingkat pergaulan teater tersebut dengan berbagai pemahaman teater.
Teater pelajar di sejumlah kota-kota besar di Indonesia, barangkali cukup beruntung. Sejarah teater dan sejarah teater pelajar kita telah memberikan isyarat yang sangat tegas, bahwa teater berjalan beriringan dengan nafas kehidupan publiknya. Pada tingkat selanjutnya, teater menjadi jembatan dalam memahami pertumbuhan yang bergejolak disekitarnya. Dan, akhirnya teater tidak pernah berakhir di panggung pertunjukan. Teater berkelebat dalam darah, dalam nadi, di jantung, di hati dan ditengah-tengah denyut kehidupan semua orang, semua pihak.
Problem Penyutradaraan
Teater sekolah saat ini dapat berlangsung dalam tiga aspek apresiasi dan kreasi, yakni (1) teater di dalam kelas, (2) teater untuk kompetisi sekolah, seperti festival maupun lomba, dan (3) teater untuk terapi. Ketiga aspek ini dapat dilakukan hanya dalam satu aspek, dapat pula dilakukan secara bersamaan.
Konsepsi dasar teater di dalam kelas adalah memahami karakter antar manusia sebagai bagian dari proses sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Teater di dalam kelas dapat mengambil tema-tema yang terjadi di sekitar lingkungan siswa. Mereka apresiasi peristiwa-peristiwa yang terjadi, membuat kerangka cerita, dan menentukan peran-peran yang bisa mereka lakukan. Setelah ketiga langkah ini diselesaikan, maka para siswa bisa memperagakannya di depan kelas atau di tempat duduknya masing-masing, tanpa terbebani oleh masalah teknis artistik panggung. Guru cukup memfasilitasi dan melakukan pengawasan terhadap aktivitas siswa.
Jika kita bekerja untuk teater yang berorientasi pada kompetisi siswa –semacam festival, maka terdapat beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, pahamilah apa yang ditentukan oleh penyelenggara, termasuk instrumen penilaian yang akan digunakan. proses selanjutnya adalah berlatih. Penyutradaraan merupakan salah satu aspek penting yang dapat meminimalisir kekurangan pada aspek lain –artistik dan pemeranan. Aspek penyutradaraan tersebut adalah (a) menentukan nada dasar. Ibarat sebuah partitur lagu, maka nada dasar akan menentukan arah nada selanjutnya. Nada dasar suatu teks maupun naskah dapat dilakukan dengan memahami titik tolak dari suatu teks. Misalnya, cerita tentang seorang rentenir yang kejam. Pahamilah terlebih dahulu akar kekejaman (titik tolak untuk nada dasar) seorang rentenir yang akan dijadikan pijakan. Ikutilah terus pergerakan atau alur kekejaman. Buatlah gradasi dari setiap perubahan alur tokoh ini;
Aspek selanjutnya (b) adalah membangun dinamika ruang. Artinya, ruang pertunjukan benar-benar hidup sepanjang pertunjukan. Penonton diharapkan tidak berkedip sedikitpun, dan selalu memandangi panggung. Dinamika ruang ini tercipta melalui berbagai kemungkinan interaksi, baik antar individu, bunyi maupun dengan peralatan atau perabotan yang telah disiapkan.
Aspek lain adalah spontanitas yang menjadi ciri khusus dalam teater-teater Asia, termasuk Indonesia. Ciri ini membawa bentuk-bentuk teater di Indonesia lebih komunikatif, interaktif, dan dapat membangun muatan lokal dan kearifan lokal yang kondusif. Selain bercirikan spontanitas, teater Indonesia juga memiliki kemungkinan dalam pengembangan pengolahan tubuh yang berkorelasi dengan pembentukan kepribadian. Selain pengolahan tubuh, pikiran dan suara, mengolah tubuh juga berkaitan erat dengan pengolahan komponen kejiwaan yang sejalan dengan nilai-nilai etis, moral,sosial dan kultural. Pengolahan ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa percaya dii siswa dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya, termasuk dalam mengikuti proses pembelajaran
Sisi lain adalah gaya pertunjukan. Jawa Timur banyak memiliki sutradara dengan berbagai gaya (style) yang bersifat teknis, misalnya style internal progressive, yaitu gaya penyutradaraan yang berangkat dari potensi diri para pemainnya. Para pemain didorong untuk mengkonstruksi tubuhnya –maupun ucapannya sendiri. Sedangkan style eksternal progressive lebih menekankan kemauan sutradara. Kemauan sutradara bisa masuk pada tingkat pembentukan teknis ruang, seperti komposisi, dinamika pengisian ruang yang memang hampir tidak mungkin dilakukan seorang pemain.
Demikianlah pengantar yang dapat saya sampaikan. Diskusi dan dialog menjadi lebih penting untuk membuka pemahaman yang lebih mendalam. Semoga bermanfaat…

________________________________________
* Disampaikan dalam pelatihan guru /pembina seni teater tingkat SD/MI dan SMP/ MTs se Kab. Gresik
* staf pengajar drama pada jurusan Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.

Kamis, 29 Januari 2009

Teater Eksperimental

Teater Eksperimental
oleh Putu Wijaya

4 Oktober 1993 • & Komentar
tulisan ini dibuat untuk menyambutulang tahun ke-25 TEATER POPULER

Teater yang hadir dengan “bahasa” yang dipahami masyarakat, akan mendapat “wilayah”, “kedaulatan”, “bentuk” dan juga “kekuasaan”. Teater yang menguasai “bahasa yang diterima masyarakat” akan memiliki kekuatan, wewenang, hak, popularitas, pengaruh dan akhirnya juga “kekebalan” yang harus ditentang.
Kalau tidak, akan terjadi kemacatan teater. Dalam keadaan macat, tak akan pernah lagi teater melahirkan peristiwa teater, yang memberikan sumbangan spiritual pada perkembangan budi-daya manusia. Teater akan menjadi hiburan murni yang memperbodoh manusia seperti bermacam-macam racun yang dilahirkan oleh kegiatan pasar. Panggung akan menjadi kuburan seniman teater dan lokalisasi pelacuran dari masyarakat penonton yang dekaden.
Kami adalah orang-orang yang memilih untuk melawan meriam-meriam teater yang sudah mengabdi kepada pelacuran pasar. Kami terpaksa membeci pasar, selama kami melihat tempat itu sudah begitu menggoda iman saudara-saudara kami dan membunuh banyak bakat-bakat terbaik.
Selama pasar menjadi reaktor yang menguras dana yang seharusnya dapat membangun pencakar-pencakar langit dalam kerajaan spiritual setiap diri anggota masyarakat. Sehingga pribadi-pribadi yang selayaknya dapat tumbuh sebagai unit metropolitan budaya, semakin langka.
Semakin menipis, semakin kehabisan darah untuk melakukan perlawanannya pada erosi di dalam sanubari yang semakin lama semakin membuas, kurangajar bahkan juga, maaf biadab.
Kami menentang pasar, karena ketidakmampuan serta ketidaktegaan kami sendiri untuk mendamaikan ide-ide kami tentang tontonan dengan kehendak raja-raja yang telah menjadi diktator dan berbuat semena-mena untuk kepentingan kekuasaannya sendiri.
Kami memilih jalan untuk melawan, karena kami percaya, jalan yang ditempuh teater sudah dibelokkan ke arah yang bertentangan dengan kemanusiaan. Cerita yang diangkat ke atas lantai pertunjukkan bukan lagi bayang-bayang kebenaran, tetapi tarian strip dari uang yang mempergunakan politik, ilmu jiwa, panutan moral atau kotbah filsafat yang sudah hampir mampus, sebagai buku sucinya.
Teater sudah menjadi kambing guling dalam sebuah pesta pengkhianatan mantan-mantan sukarelawan yang semula sudah teken kontrak unmtuk melakukan pengabdian sosial pada kemanusiaan. Untuk itu kami berpacu melawan arus dan melakukan apa saja yang memungkinkan kami bebas dari “bahasa” yang ada.
Kami melakukan terobosan, percobaan-percobaan, pengujian serta serangan-serangan, yang pada prakteknya memberikan alternatif lain. Bukan saja tentang cara mengucapkan sesuatu, cara melihat sesuatu, cara menilai sesuatu, cara merasakan sesuatu, cara mendengar, menghayati, menghirup, mengecap, meraba, menyebut, menamakan, mempersoalkan dan memikirkan sesuatu.
Kami terutama mencecer untuk mempertimbangkan kembali segala sesuatu yang sudah diterima sebagai sebuah kebenaran mutlak yang tak perlu dipersoalkan lagi.
Kami menggugat. Kami mengaum. Kami berontak. Untuk menggantikan seluruh teks teater yang sudah kedaluwarsa. Seluruh isi tontonan yang sudah kalah dan tunduk di kaki gelombang kemenangan mukibat orde pengemas.
Kami menyerbu idiom-idiom karatan yang sudah jadi idiologi lamban dan gemuk, untuk dipensiunkan, karena dia tidak lagi menolong dialog kita, tetapi sudah menyesatkan bukan saja masyarakat teater, tetapi juga semua tetangganya yang lain, termasuk nyamuk pers, para maecenas, partner dagang dan pejabat-pejabat berwenang yang pada prakteknya sudah mampu menentukan hidup dan mati.
Kami melakukan sesuatu yang berbeda dengan tujuan, tata-cara, bahkan juga ritus dari bukan saja apa yang sudah galib dilaksanakan, tetapi juga dari apa yang sudah pernah kami lakukan sendiri. Gebrakan ini adalah serangan yang menentang ke segala arah, termasuk ke dalam tradisi kami pribadi atau mereka yang lebih suka disebut sebagai: para pembaharu.
Karena kami tidak semata-mata dijajah oleh kehendak untuk memenangkan segala sesuatu yang baru. Tidak dihantui oleh cita-cita untuk memenangkan pertempuran. Tidak didorong oleh hasrat untuk mengibarkan sebuah panji-panji kami lebih tinggi dari panji-panji orang lain.
Karena kalau itu sampai terjadi, segalanya kemudian akan berakhir kembali persis seperti apa yang kini kami tentang. Yakni tirani baru, yang bisa lebih lalim dari apa yang ada sekarang. Kami lebih tertarik pada api revolusi yang berkobar-kobar abadi untuk memanggang apa saja yang menjadi mapan setiap saat. Termasuk apa kini atau yang pernah kami sebut sendiri, sebagai sesuatu yang baru.
Lebih dari apa yang terkandung dalam pengertian “baru” baik isi maupun bentuknya, kami menginginkan ada “perimbangan”, ada “kemungkinan”, ada “pilihan”. Kebimbangan adalah “suci”. Kami mengusahakan untuk selalu ada jalan lain untuk berucap, mengucapkan dan berdialog, termasuk juga menentang sendiri apa saja yang sedang kami kecapkan.
Jalan-jalan di dalam jalan kami sendiri harus tak terbendung. Mesti terus-menerus lahir. Sehingga kemungkinan bersinggungan, tumpang-tindih bahkan bertentangan dalam diri sendiri adalah sesuatu yang normal.
Di mata kami, berbeda dengan kesimpulan yang sudah diterima, dunia ini makin lama bukannya makin bertambah sempit, namun bertambah lebar dan tak terjamah. Globalisasi menambah hiruk-pikuk yang memacu kegelisahan makin parah, namun juga sekaligus dikuntit oleh keterpencilan yang sangat sepi.
Perbedaan-perbedaan lama yang sudah dibunuh dalam kesepatakan dan pengertian, membuat kita tiba-tiba ngeh pada perbedaan-perbedaan baru, yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Perbedaan yang mungkin beberapa kali lipat dari perbedaan yang ada sebelumnya. Namun perbedaan yang bukannya membuat kita bertambah jauh, tapi justru semakin membutuhkan.
Teater mengingatkan penonton pada medan kehidupan kini yang lebih rumit dan memerlukan ekstra awas. Karena itu besar kemungkinan, teater akan bertentangan dengan kehendak penonton. Bertentangan dengan kehendak ahli-ahli filsafat, politik dan ekonomi. Bahkan bisa bertolak-belakang dengan kehendak para kritisi dan ahli estetika. Teater tidak menghasilkan rasa nikmat. Teater adalah racun.
Teater eksperimental akan terus-menerus berlawanan dengan kehendak pasar. Bermusuhan dengan kemauan orang banyak. Dan bukan mustahil bertentangan dengan kebahagiaan kami sendiri.
Teater eksperimental adalah teater yang tak hanya melawan kekuasaan mutlak bahasa teater yang sudah mendapat pengesahan di dalam pasar dan hati masyarakat. Teater eksperimental adalah juga teater yang setiap kali berontak pada dirinya sendiri yang sudah terjebak dalam bahasa yang diam-diam mengandung opium kemapanan.
Teater eksperimental adalah teater yang selalu menolak untuk tahu. Teater yang sanggup mengingkari dirinya setiap kali. Teater yang anti pada statusquo. Teater yang tak ingin mengada. Teater yang tak pernah diam. Teater yang selalu dalam keadaan bergerak, bimbang, meragukan, merindukan dan akhirnya mampus dalam mencari sesuatu yang belum ada, tidak ada atau mungkin tidak akan pernah ada.
Walhasil teater yang nihil. Teater yang zero. Namun juga sekaligus teater yang amat penuh, ambisius dan pretensius.
Teater eksperimental adalah langkah ke zone terapung, di mana ruang berlapis-lapis dengan dimensi yang tak terjangkau. Di mana kebenaran hadir dalam jutaan nuansa yang pelik dan membingungkan siapa saja yang menginginkan kemutlakan. Satu langkah lagi, satu langkah kecil lagi untuk mendekati “Misteri” yang semakin banyak kita ketahui, semakin membuat kita ragu-ragu tentang kebenaran yang ada di kepala kita.
Teater yang membuat manusia lebih menyadari keadaannya yang tak berdaya. Teater yang mengingatkan manusia pada dirinya sebagai noktah yang tak punya hak dan kekuatan, yang tak kekal, yang pasti akan musnah. Apalagi kalau tidak melakukan apa-apa.
Teater eksperimental adalah sebuah idiologi tontonan. Adalah sebuah ritus. Adalah sebuah ajaran kebijakan. Dan sekaligus juga: sebuah teror mental.

Rabu, 03 Desember 2008

WAYANG GOLEK WAHYU

G. WAYANG GOLEK WAHYU
1. Lokasi keberadaan
Golek atau golekan adalah bahasa Jawa yang artinya adalah boneka. Wayang Golek Wahyu adalah wayang golekan atau wayang berbentuk boneka tiga dimensi yang dibuat dari kayu. Bentuknya mirip wayang Thengul atau wayang golek Sunda. Ceritanya diambil dari Alkitab, baik Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama, sehingga tokoh-tokoh yang digambarkan adalah tokoh-tokoh dalam Alkitab. Wayang ini dikembangkan oleh Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Jambangan Kota Surabaya pada tahun 1997. Ide atau gagasan pertama yang melahirkan Wayang Golek Wahyu ini adalah Wahjudhi Dwidjowinoto warga GKJW Jambangan. Wayangnya dipesan dari Susanto perajin loroblonyo di kota Wates Kabupaten Kulonprogo Jogjakarta. Loroblonyo adalah boneka sepasang mempelai tradisional Jawa dalam posisi duduk. Susanto memproduksi loroblonyo dari kayu berbagai ukuran dari yang ukuran tinggiya 20 Cm sampai sebesar manusia. Maka dari itu Wahjudhi Dwidjowinoto sebagai pencetus gagasan Wayang Golek Wahyu mempercayakan pembuatan wayangnya kepada Susanto yang sudah dikenal sebelumnya dengan pertimbangan Susanto sudah terbiasa membuat boneka dari kayu, selain itu Susanto beragama Kristen sehinga tidak akan kesulitan membuat boneka wayang yang merupakan perwujudan tokoh-tokoh dari Alkitab.
2. Tokoh-tokoh cerita
Tokoh-tokoh cerita Wayang Golek Wahyu merupakan penggambaran tokoh-tokoh yang ada di Alkitab, baik Kitab Perjanjian Lama maupun Kitab Perjanjian Baru. Semua tokoh-tokoh tersebut dipilah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok tokoh yang mempunyai karakter baik dan selalu berusaha mengusahakan perdamaian dunia dan mengajak umat manusia berbakti dan menyembah Tuhan YME, dan berbuat kebajikan, dalam pergelaran ditaruh di sumpaingan kanan. Yang satu lagi kelompok jahat, iblis, dan sebagainya yang suka menentang kebijakan Tuhan YME dan senang berbuat kejahatan, dikelompokkan pada sumpingan kiri. Kelompok Wayang Golek Wahyu yang berkarakter baik dan diletakkan pada sumpingan kanan misalnya: Para malaikat, para penyelamat dan nabi-nabi, para rasul, para satria, Yesus, orang-orang suci, Yusuf, Yohanes, Daud, Daniel, Zakaria, Orang Majus, Simon, dan sebagainya. Kelomok jahat yang diletakkan di sumpingan kiri misalnya: Goliat, Iblis, tokoh penjilat/penipu, Pilipus, Luzifer, Habil, Gideon, Yudas, Simon, Herodes, Iblis merah, Yonathan, dan sebagainya. Karena wayangnya agak terbatas, maka ada kalanya tokoh wayang yang digunakan pada cerita Perjanjian Lama digunakan pada cerita Perjanjian Baru dengan nama lain. Misalnya tokoh Goliat di Perjanjian Lama dapat digunakan sebagai raja Herodes pada Cerita pada Kelahiran Yesus. Ada juga wayang srambahan yang artinya wayang serbaguna misalnya wayang prajurit, wayang dagelan/lawak, malaikat, wayang yang menggambarkan rakyat biasa, dan sebagainya. Wayang prajurit yang digunakan pada cerita Perjanjian Lama juga digunakan sebagai prajurit dalam cerita Perjanjian Baru. Malaikat pada cerita Perjanjian Lama juga digunakan sebagai malaikat pada cerita Perjanjian Baru. Demikian juga tokoh dagelan/lawak dan rakyat biasa, wayangnya sama baik digunakan pada cerita Perjanian Lama maupun pada cerita Perjanjian Baru.

a. Tokoh cerita dari Kitab Perjanjian Lama

Gambar 242
Goliat


Gambar 243
Malaikat

Gambar 244
Dayang-dayang istana (srambahan)


Gambar 245
Musa


Gambar 246
Musa dengan pendeta Mesir


Gambar 247
Raja Salomo


Gambar 248
Komandan pasukan dengan para prajutit
dapat digunakan untuk prajurit mana saja (srambahan)

b. Tokoh cerita dari Kitab Perjanjian Baru

Gambar 249
Maria dengan Yusuf

Gambar 250
Maria

Gambar 251
Kawanan domba

Gambar 252
Kawana Domba di padang rumput


Gambar 253
Malaikat yang mendatangi Maria, Yusuf, dan para gembala

Gambar 254
Para Gembala dengan kawanan dombanya

Gambar 255
Pemilik Penginapan


Gambar 256
Raja Herodes (kiri) dan perdana menterinya (kanan)


Gambar 257
Orang-orang Majus


Gamabar 258
Prajurit raja Herodes beserta komandan pasukannya



Gambar 259
Tokoh wanita dan pria untuk rakyat biasa dan lain sebagainya







c. Tokoh Geculan/lawak

Gambar 260
Tokoh lawak sebagai selingan cerita, namanya dapat berubah setiap lakon

3. Perlengkapan yang digunakan
Perlengkapan yang digunakan pada pergelaran Wayang Golek Wahyu seperti pada pergelaran wyang kulit purwa yaitu: wayang, debog (pohon pisang), kotak wayang, kerak, cempala, dan gamelan. Wayang Golek Wahyu tidak menggunakan kelir garena bentuk wayangnya 3 dimensi, jadi yang tampak oleh penonton bentuk wayangnya secara utuh, tidak diperlukan bayangannya.
a. Wayang
Wayang Golek Wahyu merupakan bentuk 2 dimensi seperti wayang golek Sunda. Tokoh-tokohnya terdiri dari tokoh putren (wanita); putra alus (pria yang berbadan sedang, berkarakter halus, sabar, rendah hati) misalnya Raja Salomo, Yusuf dsb.; putra gagah yaitu pria yang berbadan gagah tegap misalnya Yohanes pembabtis; tokoh kasar, yaitu tokoh yang berbadan tinggi besar tingkah lakunya kasar miasalnya Goliat; dan Busana Wayang Golek Wahyu berupa baju dan atau jubah dengan asoseris lainnya. Untuk para prajurit memakai baju perang lengkap dengan helm-nya dan bersenjata pedang. Bila perlu baju Wayang Golek Wahyu dapat diganti atau ditukar untuk menjadikan tokoh lain yang diperlukan. Ukuran wayangnya juga ada yang besar, sedang, dan kecil. Kelompok tokoh kasar dengan berukuran besar, kelompok tokoh gagah berukuran sedang, kelompok tokoh halus berukuran agak kecil, dan kelompok putri berukuran kecil. Selain itu juga ada wayang geculan (lucu) yang berperan sebagai abdi tokoh yang berkarakter baik termasuk para gembala. Wayang Golek Wahyu tidak ada yang disumping seperti wayang kulit purwa, karena dalang Wayang Golek Wahyu dapat lebih dari satu dan bekerja bersama-sama memaikan wayang.
b. Panggungan
Yang dimaksudkan panggungan dalam wayang Golek adalah dua buah debag pisang yang disusun atas bawah membujur di depan dalang, kurang labih sepanjang 3 meter. Tempat ini merupakan tempat dipergelarkannya pertunjukan wayang Golek wahyu yang dilaksanakan oleh seorang dalang atau lebih. Dua buah debog yang dipasang bertumpukan seperti pada wayang kulit purwa, yaitu debog atas disebut panggungan untuk menancapkan para raja dan atau tokoh berstatus sosial tinggi, sedangkan debog bawah untuk menancapkan punggawa, putra raja, dan tokoh berstatus sosial lebih rendah, disebut paseban karena untuk wayang yang seba (menghadap raja/pembesar). Sebelum pergelaran wayang kulit dimulai ditengahnya ditancapkan gunungan.
Di depan panggungan ini merupakan tempat duduk para dalang yang melaksanakan pergelaran Wayang Golek Wahyu. Jarak duduknya dalang dengan debog atas dengan ukuran dalang dapat menancapkan dan menggerakan wayang. Sebelah kiri dalang yang berada di paling kiri diletakkan kotak untuk menempatkan wayang dudahan yang menunggu giliran ditampilkan, dan pada bibir kotak di atas posisi kaki dalang digantungkan keprak. Tutup kotak diletakkan di sebelah kanan dalang paling kanan, dengan arah sejajar kotak, gunanya untuk menempatkan wayang Golek Wahyu kelompok berkarakter baik yang menunggu giliran untuk ditampilkan di panggungan.
d. Debog
Debog pada pergelaran Wayang Warta jumlahnya hanya 2 buah, dipasang horisontal dengan titancapkan pada kayu yang disebut tapak dara, dan satu lagi ditaruh dibagian tengah juga horisontal dibawah debog pertama, tetapi pemasangannya agak maju sedikit sehingga membentuk seperti undak-undak di depan dalang disebut panggungan, gunanya untuk menancapkan wayang berstatus sosial tinggi, bagian bawah disebut paseban gunanya untuk menancapkan wayang yang status sosialnya lebih rendah. Wayang yang ditancapkan di debog paseban kalau dilihat tampaknya duduk dilantai, sedangkan raja yang ditancapkan di debog panggungan seperti berdiri di lantai. Jadi kalau semuanya dilihat dari dari arah penonton wayang yang berstatus sosial rendah seperti duduk di lantai menghadap tokoh yang berstus sosial tinggi.
e. Lampu
lampu listrik yang dipasang dan diatur untuk menerangi wayang, sehingga panggungan menjadi terang dengan harapan penonton lebih jelas dapat melihat wayang Golek Wahyu yang dipentaskan. Penonton wayang Golek Wahyu berada di depan para dalang.
f. Kotak
Seperti pada wayang kulit purwa, kotak wayang Golek Wahyu berukuran kurang lebih panjang 150 Cm, lebar 70 Cm, dan tingginya 50 Cm, dengan tebal kayu 2 Cm. Kotak dilengkapi dengan bibir kayu pada tepi atasnya, gunanya untuk memasang tutup kotak. Dalam kotak diberi pembatas, sehingga terdapat dua ruangan, satu besar, dan stunya kecil. Bagian yang kecil disebut anakan kotak, gunanya untuk menyimpan kelir, keprak, cempala, senjata wayang, dan perlengkapan lain pada waktu wayang tidak dipergelarkan. Bagian yang besar untuk menyimpan wayang berdasarkan kelompoknya dengan pembatas tripleks yang dibungkus kain atau eblek. Pada waktu pergelaran wayang Golek Wahyu kotak diletakkan di sebelah kiri dalang yang duduk paling kiri dengan bagian anakan kotak berada di dekat debog. Pada bibir anakan kotak ini digantungkan keprak yang dapat dibunyikan dalang dengan dijejak dengan kaki kanan yang disilangkan menumpang lutut kiri. Tutup kotak diletakkan di sebelah kanan dalang paling kanan dalam posisi sejajar dengan kotak, gunanya untuk meletakkan wayang kelompok berkarakter baik yang menunggu giliran untuk dimainkan di panggungan.
g. Cempala
Cempala yang digunakan pada pergelaran wayang Golek Wahyu seperti pada wayang kulit purwa yaitu dua macam, yang satu besar yang satu kecil. Gunanya juga sama seperti pada wayang kulit purwa yaitu untuk memukul kotak dengan teknik pukulan tertentu sebagai tanda kepada pengrawit untuk memulai maupun mengakhiri gending iringan pergelaran. Cempala besar dipegang tangan kiri dalang paling kiri, sedangkan cempala kecil dijapit ibu jari dan telunjuk kaki kanan menggantikan fungsi tangan kiri kalau kedua tangan dalang sedang memaikan wayang. Bunyi dhodhogan kotak dengan cempala dan fungsinya juga sama seperti pada wayang kulit purwa, yaitu.
NO JENIS DHODHOGAN FUNGSI
a. Dhodhogan Lamba Untuk sasmita patetan atau untuk sela/jedah monolog tokoh wayang. Suaranya: Dhog.

b. Dhodhogan Pinjal Lamba Untuk permintaan srepeg. Suaranya: Dhog-dhog, dhog-dhog, dhog-dhog, disambung keprak crek- crek-crek dst.

c. Dhodhogan Singgetan Untuk tanda jedah pocapan (cerita) dalang. Suaranya: Dherodhog-dhog.

d. Dhodhogan Pada Wacana Untuk memberi tanda antara ucapan tokoh wayang satu dengan tokoh lain dalam antawacana (dialog). Suaranya: Dhog, Dherodhog-dhog.

e. Dhodhogan Neter Untuk menandakan suasana tegang/ marah.
Suaranya: Dherodhog-dhog, dhog- dhog-dhog-dhog-.........dst.

f. Dhodhogan Panggugah Untuk tanda bahwa dialog sudah mulai memanas, biasanya dilanjutkan dengan adegan perang. Suaranya: Dhog, dhog, dhog,....dst.

g. Dhodhogan Sendhalan Untuk tanda gamelan dibunyikan sampak.
Suaranya: Dhog-dhog-dhog..disambut dengan keprak crek-crek-crek dst.
h. Dhodhogan sumeleh Untuk memberi tanda agar gamelan di bunyikan
ayak-ayak.
Suaranya: dhog,..dhog,..dhog,..dhog, ..dhog.

h. Keprak
Keprak yang digunakan wayang Golek Wahyu sama dengan pada wayang kulit purwa, peletakannya juga disangkutkan pada bibir kotak wayang, sehingga keparak menggantung dan menyandar pada dinding kotak di sebelah kiri dalang yang duduk paling kiri. Dengan demikian dapat dibunyikan dengan kaki dalang, sehingga bersuara prak-prak, atau jek-jek sesuai kuat lemahnya hentakan kaki dalang. Bunyi keparakan ini untuk mengiringi gerak wayang terutama pada waktu adegan perang, bila ada wayang yang memukul keprak dibunyikan dengan hentakan kaki dalang sehingga seolah-ohah pukulannya hebat, demikian juga kalau setelah dipukul wayang tersebut jatuh, dibarengi dengan bunyi keprak dengan hentakan kaki dalang sehingga berkesan jatuhnya wayang pada tanah yang keras sehingga berbunyi dan wayangnya merasa kesakitan.

Gambar 261
Cempala besar dan cempala japitan (kecil) dan Keprak
i. Gamelan
Gamelan yang digunakan dalam pergelaran wayang Golek Wahyu sama dengan yang digunakan wayang kulit purwa yaitu gamelan berlaras pelog dan slendro. Masing-masing laras terdiri: Bonang Barung, Bonang Penerus, Gender Barung, Gender Penerus, Slenthem, Demung, Saron (dapat lebih dari satu), Peking, Kethuk- Kenong, Kempul dan Gong, Kendang (kendang wayangan, kendang gedhe, dan ketipung), Siter, Rebab, Suling, Jedor
Bila pengrawitnya lengkap jumlahnya sesuai dengan jumlah instrumen gamelan, tetapi kalau pengrawitnya hanya 12 orang, instrumen suling, rebab, dan siter dapat dirangkap oleh pengrawit penabuh instrumen Demung, Saron, atau peking.
4. Seniman yang berperan dalam pementasan
Seniman yang berperan pada pergelaran wayang Golek Wahyu sama dengan pada pergelaran wayang kulit purwa, yaitu dalang, pengrawit, pesindhen.
a. Dalang
Dalang pada pergelaran wayang Golek Wahyu dapat hanya seorang, 2 (dua) orang, atau 3 (tiga) orang. Dalang yang duduk di paling kiri dekat kotak merupakan pimpinan pergelaran wayang Golek Wahyu yang juga bertindak sebagai sutradara dan sekaligus membunyikan keprak dan dodogan serta memaikan wayang dan dialog. Dalang kedua dan atau ketiga bertugas memaikan wayang dan membawakan dialog wayang. Yang melantunkan suluk, narasi dan cerita dapat diatur bergantian disesuaikan kesepakatan sebelum mulai mendalang. Dialog juga diatur sesuai kesepakatan sebelumnya, siapa yang membawakan tokoh A, dan siapa tokoh B dan tokoh C, sehingga dapat terjadi dua tokoh atau lebih berbicara atau tertawa sacara bersamaan.
Dengan demikian juga dapat terjadi 3 (tiga) wayang atau lebih bergerak secara bersama-sama. Misalnya pada waktu para gembala di padang Efrata berdialog, sementara itu domba-domba yang digembalakan tetap digerakkan seolah-olah makan rumput oleh dalang kedua atau ke tiga; pada waktu malaekat datang yang dimaikan oleh seorang dalang, dalang lain memainkan para gembala yang terkejut, tetapi dalang yang satu dapat tetap memainkan wayang domba.
Bahasa yang digunakan dalam pergelaran wayang Golek Wahyu dapat menggunakan bahasa Jawa, tetapi dapat juga menggunakan bahasa Indonesia. Pemilihan penggunaan bahasa ini disesuaikan dengan permintaan yang meminta pentas, kalau diminta menggunakan bahasa Jawa dilayani dengan bahasa Jawa, kalau diminta menggunakan bahasa Indonesia digunakan bahasa Indonesia. Namun demikian sulukan dalang tetap menggunakan syair Kidung Pasamuan Kristen yang menggunakan bahasa Jawa.

Gambar 262
Pergelaran Wayang Golek Wahyu dengan satu dalang.
Adegan Yusuf mengajak Maria dan bayi Yesus mengungsi ke Mesir.
Suluk dalam pergelaran wayang Golek Wahyu diambil dari sair nyanian Kidung Pasamuan Greja Kristen dengan lagu seperti sulukan wayang kulit purwa. Sulukan juga digunakan untuk menciptakan suasana tertentu dan atau untuk merubah suasana dari suasana tenang ke gaduh, tenang ke gembira, atau sedih, dan sebagainya. Jenis sulukan adalah sebagai berikut.
NO JENIS SULUK KETERANGAN
1. Kombangan Yaitu lagu/tembang dalang yang didendangkan di dalam gending (ketika gamelan sedang berbunyi). Gunanya untuk memberi kode (sasmita) kepada pengrawit bahwa janturan dalang telah habis/selesai, atau sasmita bahwa dalang menginginkan irama ngelik/tinggi, dan perlu dikombangi.
2. Pathetan Yaitu lagu/tembang yang didendangkan dalang dengan diiringi instrumen gender, rebab, gambang, suling, kenong, dan kempul + gong, untuk menciptakan atau merubah suasana yang terasa tenang, tenteram, damai.
3. Sendhon Yaitu l;agu/tembang yang didendangkan dalang dengan diiringi instrumen gender, rebab, gambang, suling, kenong, dan kempul + gong, untuk memberikan tekanan sentuhan emosional penonton dalam terjadinya perubahan suasana; misalnya dari suasana gembira berganti suasanan sedih didendangkan sendon tlutur.
4. Ada-ada Yaitu lagu/tembang yang didendangkan dalang dengan diiringi instrumen gender, kempul, kenong, dan gong, disertai dengan suara dhodhogan cempala atau keprak neter, gunanya untuk menciptakan suasana tegang, marah, atau gembira.

b. Pengrawit
Pengrawit dalam pergelaran wayang Golek Wahyu sama dengan pada pergelaran wayang kulit purwa, tugasnya adalah mengiringi jalannya pergelaran wayang Golek Wahyu dari menjelang pergelaran, dan mulai awal pergelaran sampai akhir pergelaran. Pengrawit harus dapat bekerjasama dengan kompak dibawah komando atau pimpinan dalang. Pengrawit selain dituntut menguasai gending iringan pergelaran wayang, juga dituntut menguasai gending-gending dolanan dan lain sebagainya yang merupakan pelengkap suatu pergelaran wayang Golek Wahyu. Permintaan dalang untuk memainkan gending iringan cukup melalui dhodhogan kotak atau kode ucapan tertentu dan pengrawit harus sudah dapat tanggap.
c. Pesindhen
Pesindhen dalam pergelaran wayang Golek Wahyu juga seperti pada pergelaran wayang kulit purwa yaitu untuk lebih menyemarakkan suasana pergelaran. Tempat duduknya juga di sebelah kanan dalang paling kanan atau di belakang dalang disesuaikan dengan keadaan tempat. Tugas pesindhen adalah melantunkan lagu-lagu Jawa dan gerongan sebagai pengisi gendhing karawitan, melantunkan lagu yang ditugaskan oleh dalang, atau melantunkan lagu atas permintaan penonton. Dengan adanya pesinden gendhing iringan pergelaran wayang kulit menjadi lebih indah dan lebih semarak.

5. Urutan pelaksanaan pementasan
Urutan pergelaran wayang Golek Wahyu dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Pathet Nem
1) Talu
Parmainan instrumen gamelan dan memaikan lagu kidung Pasamuan, dilanjutkan palaran, srmpegan, sampak, yang menandakan pergelaran wayang kulit akan dimulai
2) Jejer pertama
a) Jejer
Pemaparan suatu negara atau tempat, raja dengan patih atau seorang tokoh dengan kerabatnya bersidang untuk membicarakan ketenteraman negara/tempat mereka.
b) Babak unjal
Kedatangan tamu di negara/tempat tersebut sehingga menimbulkan konflik. (Kadang-kadang untuk menyingkat waktu tamu sudah hadir ikut jejer)
c) Bedolan Jejer
Raja/seorang tokoh memerintahkan persidangan selesai, patih atau kerabat yang hadir dalam persidangan boleh meninggalkan tempat, dan raja/tokoh tersebut kembali ke istana/rumah tempat tinggalnya.



d) Geculan (lawakan) I
Tokoh gecul abdi atau rakyat biasa yang berkarakter lucu/humoris, setelah selesai melaksanakan tugas menghibur diri dengan lawakan segar menghibur penonton.
3) Paseban jaba
a) Paseban jaba
Patih dan atau anak/kerabat raja/tokoh di luar istana/rumah menyampaikan hasil persidangan kepada para punggawa/kerabat yang menunggu di luar.
b) Budalan wadya
Setelah semua memahami titah/maklumat raja/tokoh yang disampaikan oleh patih atau anak/kerabat raja/tokoh, para pimpinan pasukan/kerabat berangkat menjalankan tugas.
4) Jejer kedua (tempat lain)
Tokoh lain mengadakan persidangan diikuti oleh kerabat dekatnya, dengan keputusan kerabatnya ke suatu tempat dan segera berangkat.
5) Perang gagal
Pasukan negara/kerabat tokoh pada jejer pertama bertemu dengan kerabat tokoh jejer kedua, terjadi selisih faham dan peperangan antara kedua belah pihak tidak dapat dihindari. Belum sampai menimbulkan korban jiwa kedua belah pihak menghentikan pertempuran untuk saling mencari jalan lain untuk mencapai tempat yang dituju masing-masing.
b. Pathet Sanga
1) Gara-gara
Para abdi tokoh berkarakter baik, sedang bersendau-gurau sambil menghibur penonton. Setelah dirasakan cukup dilanjutkan menghadap tokoh yang menjadi junjungannya.
2) Jejer Pathet Sanga
Persidangan salah satu negara/tempat disusul kedatangan musuh, persidangan dibubarkan untuk menghadapi musuh yang datang.
3) Perang Pathet Sanga
Peperangan antara musuh yang datang dengan pasukan negara/tempat yang didatangi. Peperangan berakhir dengan kekalahan pasukan yang datang, kemudian mereka pulang ke negara/tempat tinggalnya dan melapor ke rajanya/pimpinannya.
c) Pathet manyura
1) Jejer Pathet Manyura
Tokoh jahat menunggu kedatangan utusannya, setelah utusan datang melaporkan tentang kegagalannya. Tokoh tersebut memerintahkan mengerahkan seluruh pasukan untuk menyerbu yang menjadi penyebab kegagalan keinginannya.
2) Perang Brubuh
Pertempuran besar-besaran atara pasukan negara yang menyerbu dengan yang di serbu, dan berakhir dengan kemenangan pihak yang berkarakter baik.
3) Jejer terakhir
Negara/tempat yang telah berhasil mengalahkan musuh dan tercapai apa yang diidam-idamkan berkumpul bersama kerabat dan sekutunya untuk mengadakan doa berterima kasih kepada Tuhan YME.
4) Tancep Kayon
Pertunjukan diakhiri dengan dalang menancapkan gunungan atau kayon di tengah-tengah debog panggungan atas wayang Warta sebagai tanda pertunjukan wayang kulit berakhir.
5) Gending Ayak Pamungkas
Para pengrawit memperdengarkan gending Ayak-ayak Pamungkas dengan disertai vokal sinden yang isinya mengagungkan dan menyampaikan rasa terima kasih tak terhingga Kepada Tuhan YME.









Contoh naskah wayang Golek Wahyu berbahasa Indonesia yang pernah dipergelarkan pada Perayaan Nata Bersama 1999 di Unesa adalah sebagai berikut.
NASKAH WAYANG GOLEK WAHYU
DENGAN LAKON: “KELAHIRAN YESUS KRISTUS”

I. ADEGAN YUSUF DAN MARIA MENDAPAT WAHYU
Dalang memukul kotak 5 kali, dhog, dhog, dhog, dhog, dhog. Tanda pergelaran Wayang Golek Wahyu dimulai, dengan permintaan gending Ayak-ayak Manyura.
Dalang mengeluarkan wayang Maria dengan tangan kanan, Malaikat dipegang dengan tangan kiri agak diatas, digambarkan Maria sedang termenung, tiba-tiba Malaikat datang, dalang memberi tanda dodogan kotak dherodhog-dhog, gending Ayak-ayak sirepan, dan Malaikat berkata.

Malaikat : “Janganlah takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau namai Dia Yesus”.
Maria : “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu”.
Dalang memukul kotak sekali dhog tanda sirepan berakhir, Malaikat pergi meninggalkan Maria, kemudian Maria dengan ditutup gunungan diambil dari panggungan.
Dalang mengeluarkan wayang Yusuf dengan tangan kanan, digambarkan bimbang karena Maria tunangannya mengandung, padahal dia belum menyentuhnya. Digambarkan Yusuf berkata dalam hati akan meninggalkan Maria secara diam-diam, tetapi Malaikat datang. Dalang mengeluarkan Malaikat dengan tangan kiri, kemudian memukul kotak dherodhog-dhog tanda gending Ayak-Ayak sirepan, kemudian malaikat berkata.

Malaikat : “Hai Yusuf anak Daud, jangalah engkau takut mengabil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka”.

Dalang memukul kotak sekali dhog, sirepan berakhir, malaikat pergi, Yusuf meninggalkan tempat untuk menemui Maria.
Dalang mengeluarkan Maria dengan tangan kanan, dan Yusuf dengan tangan kiri, keduanya bertemu di panggungan, Dalang memukul kotak derodhog-dog, ayak-ayak sirepan, kemudian Yusuf berkata.

Yusuf : “Oh Maria kekasihku, engkau jangan gusar dan ragu sayangku, aku telah tahu segala yang engkau alami, karena aku telah didatangi Malaikat Tuhan yang memberitahu segalanya yang terjadi denganmu. Maka dari itu Maria sayangku, aku akan segera menikahimu.

Dalang memukul kotak sekali dhog, tanda sirepan berakhir, Yusuf dan Maria bergandengan tangan meninggalkan panggungan. Dalang menancapkan gunungan di tengah condong ke kanan, dalang memukul kotak dhog, dhog-dhog, dhog; dhog, dhog-dhog, dhog; dhog, dhog, dhog, dhog-dherodhg-dhog ayak-ayak suwuk.

Narasi dalang: Telah menikah Yusuf dan Maria setelah kedatangan Malaikat, di lain tempat tersebutlah di kerajaan Yudea, Prabu Herodes sedang dihadap perdana menteri dan hulubalangnya, kedatangan tamu tiga orang Majus dari Timur, binendrong suaranya.
Pengrawit membunyikan gending Bendrong, dalang mencabut gunungan dan mengmbalikan di batas tepi panggungan sebelah kanan.

II. JEJER KERAJAAN YUDEA.
Dalang mengeluarkan wayang perdana memteri dengan tangan kiri menyembah ke kanan dan lalu ditancapkan di debog bawah kiri menghadap ke kanan, disusul punggawa lainnya sama dengan perdana menteri. Setelah wayang tertata rapi, dalang memukul kotak dhog dilanjutkan kepraj jek, gending bendrong masuk ke gangsaran. Dalang mengeluarkan wayang Prabu Herodes dengan tangan kanan, ditarikan dengan gagah. Dalang memukul kotak dhog dilanjutkan kepraj jek, ganding Gangsaran berpindah kembali ke Bendrong irama dua. Herodes ditarikan kiprahan beberapa ragam diakhiri ragam bumi-langit dengan irama seseg/cepat. Dalang memberi tanda pukulan kotak dherodhog-dhog, Bendrong sirepan, lalu dalang janturan kerajaan Yudea.

Janturan.
Tersebutlah di negeri Yudea, negara besar yang menguasai tanah Yahudi. Siapa gerangan yang bertahta di kerajaan Yudea, tiada lain hanya Raja Herodes. Raja keras kepala bila mempunyai keinginan tidak dapat dicegah siapapun. Tersebutlah Raja Herodes dalam menjalankan roda pemerintahan selalu menindas rakyat kecil menguntungkan dirinya sendiri. Fasilitas negara hanya untuk keluarga dan kerabat dekatnya saja. Segala hajat hidup yang menguasai hajat hidup masyarakat dikuasai hanya untuk kemakmuran dirinya. Rakyat diperas tinggal bagai ampas, hingga kehidupan rakyat melarat bahkan hampir sekarat. Pada suatu hari Prabu herodes sedang berada di balairung istana duduk di singgasana, dengan dihadap perdana menteri beserta menteri-menterinya. Dalam hati herodes berkata: “Dimanakah raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu?”
Sambil membaca narasi dalang mengeluarkan wayang tiga orang Majus secara bergantian, sebelum ditancapkan masing-masing memberi hormat kepada Prabu Herodes. Dalang memukul kotak sekali dhog, sebagai tanda janturan selesai. Gending kembali ke irama cepat lalu berhenti.
Dalang suluk Ada-ada Manggalan
Mara wong dosa wong cilaka, mareka mring Gusti, Sang Pamarta,
Karsa mbirat dosanira, Gusti kang nimbali, iba ta bungahing atiku,
Besuk yen padha tinemu, suci neng daleme Rama, nunggil klayan Gusti,
Mbirat dosanira, heh sira wong dosa, ya.
Dialog.
Herodes : “Perdana merteriku, pada pertemuan kali ini sepertinya kita kedatangan tamu, apakah kamu sudah kenal tamunya?”.
P. meteri : “Sembah saya paduka, dan mohon maaf saya belum kenal, sebaiknya paduka sendiri bertanya kepada para tamu kita”.
Herodes : “Baiklah, kalau begitu”. “Tuan-tuan yang saya hormati, siapakah gerangan tuan-tuan ini, dari mana asal tuan, dan ada keperluan apakah kiranya tuan-tuan datang kemari?”.
Org Majus : “Baiklah Prabu Herodes, sebelumnya kami bertiga menghaturkan sembah, dan terima kasih paduka telah menerima kami di kerajaan Yudea ini. Kami bertiga adalah orang-orang majus atau juru nujum atau peramal dari Timur, kedatangan kami kemari untuk menanyakan kepada paduka, dimanakah Dia raja orang Yahudi yang baru dilahirkan? Karena kami telah melihat bintang tanda kelahirannya di Timur, dan kami bertiga datang untuk menyembah Dia”.
Herodes : “Ha-ha-ha-ha! Inilah dia yang kucari dan kuharap-harapkan tetapi aku sendiri belum tahu tempatnya yang jelas. Menurut berita yang kuterima dari para penasehatku, bayi itu ada di Betlehem. Maka dari itu Tuan-tuan silakan mencarinya ke Betlehem, dan saya sekaligus minta tolong, bila tuan-tuan sudah menemukan Raya orang Yahudi yang baru lahir itu, saya mohon dengan hormat lagi sangat, sudilah kiranya Tuan-tuan mampir ke sini lagi untuk memberitahu saya di mana keberadaan bayi Raja yang baru lahir itu, karena...... ha-ha-ha-ha, saya juga ingin..... menyembahnya juga ha-ha-ha-ha.
Or. Majus : “Baiklah Prabu Herodes, kami bertiga akan segera berangkat dan nanti bila kami sudah dapat menemukan, pulang kami ke Timur nanti akan datang ke mari lagi untuk memberitahu paduka”.
Dalang memukul kotak rangkap sebanyak 5 kali disambung keprak (xx xx xx xx xx-Crek-crek-crek-----) tanda minta gending Srepeg. Setelah irama teratur dalang mengundurkan ketiga orang majus.
Setelah ketiga orang majus pergi, dalang memukul kotak rangkap dan keprak bergantian (dhog-dhog-crek, dhog-dhog-crek, dhog-dhog-crek), untuk menghentikan Srepeg. Setelah srepeg berhenti Herodes berdialog dengan perdana menteri.

Herodes : “Perdana menteriku, rupa-rupanya ada yang akan menggusur kedudukanku. Aku ini kan raja diraja yang paling berkuasa di dunia ini, masak akan ada anak kecil, anak kemarin sore berani menurunkanku dari tahta. Tidak bisa dan tidak akan kulepaskan tahtaku. Hai perdana menteriku, apakah masih cukup banyak orang Yudea yang masih setia padaku? Ambilah uang dari gudang uangku, beri uang yang cukup kepada orang-orang yang setia padaku, suruh mereka mencari tahu di mana satria piningit yang baru dilahirkan itu. Bila masyarakat tidak ada yang mau mengaku di mana Raja Yahudi yang baru lahir itu, perintahkan secara rahasia kaki tanganku untuk membuat kerusuhan, biar rakyat tercekam dan ketakutan. Para paderi beri amplop uang yang tebal, agar mau berfatwa mendukung kelanggengan kedudukan dan tahtaku, bahwa aku adalah raja dari segala raja. Bila ada paderi yang tidak mau berfatwa demikian, bila ada paderi tidak mau saya beli, bunuh saja. Cari segala macam alasan membunuh mereka, atau dapat mengatakan bahwa mereka dukun santet, dan ajak masyarakat mengeroyok mereka, biar seolah-olah mati dikeroyok massa”.
P. menteri : “Maaf beribu maaf paduka, apakah tindakan demikian itu tidak melanggar hak azazi manusia atau melanggar HAM?’.
Herodes : “Perdana menteriku yang tolol, bagaimana? Apa kamu masih ingin hidup enak?, apa tidak ingin kehilangan jabatan?, dan apa kamu masih suka lalapan cewek ABG?, atau kamu sudah bosan hidup?. Kalau belum bosan hidup laksanakan perintahku tanpa membantah dan jangan banyak cing-cong! Persetan dengan HAM”.
P. menteri : “Ok boss perintah saya laksanakan”
Dalang memukul kotak rangkap sebanyak 5 kali disambung keprak (xx xx xx xx xx-Crek-crek-crek-----) tanda minta gending Srepeg. Setelah irama teratur dalang mengundurkan perdana menteri dan punggawa lainnya dengan menyembah lebih dulu. Setelah semua mundur, Herodes meninggalkan tempat.

Inovasi Pertunjukan Teater Tradisional Ludruk di Wilayah Budaya Arek

Inovasi Pertunjukan Teater Tradisional Ludruk
di Wilayah Budaya Arek

Oleh Autar Abdillah


Abstrak

Ludruk merupakan salah satu jenis teater tradisional di Jawa Timur. Kabupaten Jombang dipercayai menjadi tempat asal usul Ludruk. Ludruk kemudian menyebar ke Surabaya dan wilayah budaya Arek pada umumnya. Penyebaran ini tidak terlepas dari posisi Surabaya sebagai kota besar dan pusat perdagangan. Moordati menyatakan bahwa "... Surabaya memiliki keistimewaan tersendiri sebagai sebuah kota pelabuhan modern, perdagangan maupun industri terbesar sepanjang abad XIX" (Freek Colombijn, dkk (ed.), 2005: 302). Surabaya tidak tertandingi oleh kota-kota pelabuhan manapun seperti Calcutta, Rangoon, Singapore, Bangkok, Hongkong dan Shanghai (Howard Dick, 2000: xvii; Moordiati, 2005: 302). Surabaya dan Jombang merupakan basis pertumbuhan budaya Arek, selain Malang, Mojokerto, Gresik, Kediri, Sidoarjo, dan sebagian Blitar..
Seiring dengan perkembangan kota Surabaya menjadi pusat perdagangan, banyak kelompok-kelompok teater berdatangan, baik dari kota-kota sekitar maupun Eropa. Kehadiran teater-teater "Realis" dari Cina dan Arab lewat misi dagang, dan dari Belanda maupun Eropa pada umumnya melalui kolonisasi, memperkuat pertumbuhan teater di Surabaya khususnya dan di Jawa Timur umumnya. Rombongan teater pertama adalah Komedie Stamboel di Surabaya, 1891 oleh August Mahieu, Yap Goan Tay, dan Cassim. Pada zaman Jepang menjadi semacam titik kulminasi kemunculan teater, sekaligus mendorong terciptanya kompetisi berteater terhadap teater tradisional Ludruk.
Dinamika kota mendorong teater tradisional mengalami perubahan terus menerus. Namun demikian, para pelakunya dalam empat dasawarsa terakir ini justru menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak bisa dirubah. Padahal, teater tradisional Ludruk sekarang tak ubahnya teater modern yang berpakaian dan berbahasa Jawa, serta alat musik tradisional Jawa. Salah satu buktinya adalah semakin berjaraknya penonton dengan pertunjukan Ludruk.
Untuk itu diperlukan pemahaman bersama terhadap upaya pembentukan Ludruk yang searah dengan perkembangan zamannya. Perubahan sosial, politik, dan ekonomi merupakan dasar pijakan untuk mengkaji upaya inovasi teater tradisional Ludruk di wilayah budaya Arek. Meskipun ada upaya membentuk "Ludruk Generasi" oleh tokoh masyarakat Surabaya, dan upaya siswa SMAN 5 dan SMKN 9 Surabaya memodifikasi Ludruk, namun tidak mampu mengubah tanggapan pelaku dan masyarakat terhadap Ludruk. Masyarakat masih berpandangan, bahwa Ludruk merupakan ekspresi masyarakat kelas bawah, kumuh, tidak rasional, dan miskin.




I. Perkembangan Ludruk di Jawa Timur
Ludruk diidentifikasi dalam berbagai pemaknaan, mulai dari penari (badhut dalam bahasa Jawa, abad 8), Lerok (Lerok Bandan, abad 13 dan 14), badhut/badhutan (abad 17), hingga Ludruk (abad 20 sampai sekarang). Di samping itu, Pigeaud (1928: 224; dalam Henri Supriyanto, 2001: 9) juga memaknai Ludruk sebagai modderig (jembek, jemblok), bermodderig (gluprut), grappermarket (badhutan), dan volkstoneel (teater rakyat). Sedangkan manuskrip Wilken menerangkan bahwa Ludruk juga bermakna nama untuk anak kecil wanita yang bloon (bodoh) karena tampak lucu. Seorang pelaku Ludruk dari Sidoarjo bernama Usman (75 tahun) mengatakan pemain Ludruk diidentifikasi dari gela-gelo dan gedruk-gedruk, yang berasal dari penari "Ngremo" yang bila menari selalu gela-gelo dan gedruk-gedruk. Kata Ludruk pun dikenal dengan Lodrok.
Berdasarkan pemaknaan di atas, terdapat empat klasifikasi penting perkembang-an Ludruk dengan menganbil kata Lerok sebagai titik tolaknya. Menurut Usman, lerok atau lerok-lerok menunjukkan pemain yang naik panggung, mukanya memakai bedak putih dan tebal (pupuran). Keempat klasifikasi tersebut adalah Lerok Bandan, Sandiwara Lerok, Lerok Besut, dan Lerok Berlakon (Henri Supriyanto, 2001: 8). Lerok Bandan dan Sandiwara Lerok dikenal memiliki makna mistis, dan fungsi-fungsi sosial, seperti pengobatan atau penyembuhan. Sedangkan Ludruk Besut dan Ludruk Berlakon lebih berkonotasi pertunjukan tradisi yang tidak lagi membawa efek mistis, dan cenderung sebagai hiburan dalam mengisi waktu luang masyarakat.
Perkembangan Ludruk selanjutnya dibagi dalam tiga periode (Pigeud; dalam Henri Supriyanto, 2001: 10), yakni Ludruk (lerok) Ngamen, Ludruk (lerok) Besut, dan Ludruk (lerok) sebagai teater berlakon . Selain dalam tiga periode ini, secara historis Ludruk juga dapat dibagi dalam beberapa periode, misalnya periode kolonial Belanda, penjajahan Jepang, periode Kemerdekaan, pasca Kedaulatan RI 1950 (periode "subur"), peleburan pasca G30S PKI (pasca Kevakuman), Orde Baru (periode Kebangkitan, profesional dan independen), dan abad 21. Ada satu lagi tipologi perkembangan Ludruk dalam aspek pengemasannya, yaitu (1) Ludruk menggunakan panggung-gedhongan atau Ludruk tobong, (2) Ludruk Teropan atau untuk tanggapan, dan (3) Ludruk Televisi.
Jika dicermati masing-masing perkembangan, maka dapat disimpulkan bahwa Ludruk mengalami berbagai perubahan seiring dengan perubahan zaman. Perubahan zaman dapat ditafsirkan sebagai adanya perubahan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Perubahan tersebut –baik langsung maupun tidak langsung, membawa pengaruh terhadap perlakuan masyarakatnya terhadap Ludruk.
Perubahan sosial dapat dikategorikan adanya mekanisme perubahan dalam perspektif materialistis, idealistis maupun interaksional. Sztompka (2004: 21), menegaskan bahwa dalam mekanisme perubahan sosial hanya perlu dibedakan dua jenis proses sosial yang tergantung pada peran manusia. Pertama, proses sosial yang tak diharapkan dan sering tak disadari. Proses ini di sebut juga sebagai ”proses spontan”. Kedua, proses yang dilancarkan dengan maksud atau tujuan yang diarahkan pada tujuan tertentu, direncanakan dan dikendalikan oleh seorang aktor yang dibekali kekuasaan. Inilah proses yang disebut sebagai ”proses yang direncanakan” atau dipaksakan dari atas (Sztompka, 1981; dalam Sztompka, 2004: 21). Kedua bentuk proses ini bisa terjadi secara bergantian dalam suatu perubahan sosial.
Ludruk yang berkembang dalam proses perubahan sosial berada dalam hampir semua mekanisme pespektif perubahan sosial, baik materialistis, idealistis maupun interaksional. Namun demikian, satu hal yang penting dicermati adalah adanya target-target dan agen-agen perubahan yang menentukan perkembangan Ludruk. Target perubahan Ludruk lebih pada terjadinya perubahan hubungan sosial. Masyarakat menempatkan Ludruk sebagai ruang "ritual" sosial, sehingga target-target ekonomi terkadang dikesampingkan. Agen-agen perubahan sosial dalam perkembangan Ludruk terdapat pada juragan atau majikan, penguasa daerah setempat (bisa lembaga pemerintah sipil maupun tentara), dan penonton (masyarakat) sebagai penyangga.
Perubahan politik berakibat pada terkonsentrasinya relasi sosial Ludruk. Peng-konsentrasian relasi sosial Ludruk dilakukan oleh berbagai kelompok kepentingan, baik oleh partai politik maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Henri Supriyanto menjelaskan bahwa ada penari Ngremo yang menggunakan pakaian putih-putih dan berpeci. Pakaian ini menyimbolkan semangat nasionalisme pada masanya. Semangat nasionalisme seperti ini membawa konsekuensi pada partai politik tertentu. Di samping itu, ketika peran politik dan kuatnya pengaruh Ludruk dalam periode 1950-1960-an, maka Ludruk menjadi alat penyampaian doktrin dan intimidasi bagi partai politik yang bertujuan untuk melakukan provokasi.
Selanjutnya dalam perubahan ekonomi merujuk pada beberapa hal, yakni kebutuhan hidup para pelaku Ludruk, dan kemampuan daya beli para penonton Ludruk. Ludruk memang bukan seperti kesenian lainnya yang mudah mendapatkan dukungan pendanaan. Ludruk berkembang atas inisiatif masyarakat penyangganya, sehingga perubahan ekonomi dalam Ludruk ditentukan oleh seberapa besar kelompok penyangganya mampu memberikan kontribusi. Meskipun ada yang menyangkal bahwa faktor ekonomi bukan merupakan faktor utama dalam perubahan yang terjadi pada Ludruk (seperti pendapat Suripan Saditomo, alm), namun tak dapat dipungkiri bahwa faktor ekonomi memberikan pengaruh yang sangat besar. Faktor ekonomi tidak hanya pada tingkat pelaku, tetapi juga terjadi pada tingkat pengalaman sosial yang hendak diraih masyarakat penyangganya. Pengalaman sosial juga membutuhkan ekonomisasi, seperti munculnya televisi yang memiliki kemampuan memberikan pengalaman audio-visual secara sosial. Masyarakat tidak perlu meninggalkan rumah untuk mendapatkan pengalaman sosial mereka dengan adanya sinetron, live music maupun pertunjukan-pertunjukan interaksional lainnya, seperti kuis dan SMS (short massage system) untuk mendukung idola mereka.
Bagaimanapun juga, Ludruk tetaplah sebuah teater tradisional yang kini kehidupannya sangat memprihatinkan. Tanggapan masyarakat sangat rendah, sehingga tidak ada lagi yang mau beramai-ramai mengunjungi pertunjukannya. Hal ini tentu tidak pernah dibayangkan oleh para pelaku Ludruk empat puluh tahun yang lalu. Teater tradisional Ludruk kini hanya terdapat sekitar 20-an kelompok –dari puluhan hingga ratusan kelompok Ludruk yang sebelumnya aktif mengisi waktu luang masyarakat di hampir seluruh Jawa Timur. Berdasarkan catatan Kanwil Kebudayaan, Departemen PPDK Tingkat I Surabaya, pada 1963, di Jawa Timur terdapat 549 organisasi/perkumpulan Ludruk. Sesudah 1980-an (1984/1985 terdapat 789 kelompok, 1985/1986 terdapat 771 kelompok, 1986/1987 terdapat 621 kelompok, 1987/1988 terdapat 525 kelompok (sumber: Bidang Kesenian Kanwil P dan K Provinsi Jawa Timur; Henri Supriyanto, 1994: 74). Sekarang ini, tidak lebih dari empat belas kelompok Ludruk di wilayah budaya Arek. Kehidupan mereka hanya ditopang oleh semangat untuk melestarikan Ludruk. Semangat melestarikan ini tidak didukung oleh semangat mempertahankan kehidupan mereka (para pelaku) sendiri. Hal ini menyebabkan Ludruk tidak mampu meningkatkan kualitas pertunjukannya.
II. Ludruk dan Budaya Arek
Fakta menunjukkan bahwa Ludruk berkembang di wilayah budaya Arek, yakni Surabaya, Jombang, Malang, Gresik, Sidoarjo dan Kediri, serta sebagian Blitar. Keberadaan kali (bengawan/sungai) Brantas tak bisa dipisahkan dengan kelahiran budaya Arek. Budaya arek berada di sisi timur kali Brantas , mulai dari Kediri dan perbatasan dengan Blitar hingga Malang, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Gresik hingga Surabaya. Budaya Arek Suroboyo khususnya –Arek umumnya, berawal dan tumbuh dalam beberapa tingkat. Pertama, pada masa lalu (sekitar 2000 tahun lalu), ketika Surabaya masih terbagi atas beberapa pulau kecil hingga Madura masih menjadi satu kesatuan dengan pulau Jawa, tantangan alam melahirkan kebudayaan yang bersifat khusus. Seperti dilukiskan Sugiyarto (”Pengaruh Alam Terhadap Kehidupan Sepanjang Sungai Brantas”, dalam Wiwik Hidayat, 1975: 43):
Letusan gunung berapi, hujan lebat dan angin besar seringkali memberikan tantangan kepada penghuninya di sepanjang kali Brantas. Hal ini di jawab olehnya (masyarakat) dengan tindakan-tindakan setimpal, dengan pikiran-pikiran yang mendalam dan matang guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh alam. Tantangan-tantangan ini merupakan gemblengan bagi nenek moyang kita, mereka tidak melarikan diri dari kesulitan-kesulitan itu, tapi berusaha keras untuk menundukkan dan mengatasinya. Maka timbullah kebudayaan yang berkembang dengan pesat akibat tantangan-tantangan ini. Mental dan fisik digembleng, menimbulkan renungan-renungan yang kemudian menjiwai tata kehidupannya, dan mendasari kehidupannya sebagai bangsa yang militan.
… Ujunggaluh menjadi tempat penting dan kemudian menyebabkan lahirnya Surabaya sebagai tempat yang ditakdirkan selalu harus ”Wani ing Pakewuh”, berani menghadapi kesukaran.
Pertumbuhan kebudayaan lokal dipandang sebagai suatu pertambahan yang melibatkan dan menghasilkan suatu transformasi masyarakat. Pertumbuhan (growth) menurut Spencer seperti dikutip David Kaplan dalam bukunya Teori Budaya (1999: 68) adalah proses pertambahan, sedangkan perkembangan mengandung transformasi struktur. Namun demikian, dalam kebudayaan yang dibangun oleh komunitas-komunitas, bisa berada dalam suatu transformasi sosial maupun transformasi struktural. Keduanya selalu saling berinteraksi sebagai konsekuensi dari dinamika kebudayaan yang mendorong terciptanya transformasi yang bersifat multidimen-sional. Di samping itu, kebudayaan lokal akan terus menerus melakukan penyesuaian dirinya dengan lingkungan kebudayaan yang membutuhkannya untuk terus tumbuh dan berkembang, sehingga tercipta suatu transformasi masyarakat yang sama-sama diinginkan dan diharapkan (Autar Abdillah, 2007: 11).
Dalam budaya Arek Suroboyo, tidak banyak mengenal budaya adiluhung. Budaya "adiluhung", seperti Wayang Kulit dan Wayang Orang lebih merupakan pertemuan budaya Arek Suroboyo dengan budaya Jawa Tengahan, meskipun terdapat Wayang Kulit Jawa Timuran. Di Surabaya tidak ditemukan wayang kulit yang benar-benar Suroboyoan. Wayang kulit Jawa Tengahan (Kulonan) lebih banyak diminati masyarakat (Autar Abdillah, 2007: 9). Hal ini tidak terlepas dari ekspansi kerajaan Mataram abad 17.
Identitas dalam budaya Arek Suroboyo lebih dekat sebagai suatu etnisitas yang pluralistik, artinya identitas tersebut terbentuk dari beragam unsur budaya (Autar Abdillah, 2007: 13). Ludruk dan budaya Arek memiliki sejumlah persamaan. Persamaan tersebut adalah konsep simbolik seperti (1) egaliter, (2) sikap demokratis, (3) solidaritas. Ketiga konsep ini terwujud dalam interaksi sosial sehari-hari, terutama ketika masing-masing warga masyarakat berkumpul atau bertemu dalam berbagai bentuk pertemuan. Pertemuan yang paling menonjol adalah cangkrukan. Cangkrukan sudah menjadi tradisi pertemuan informal untuk menyatakan segala sesuatu atau peristiwa yang terjadi, baik yang sudah terjadi maupun yang sedang terjadi (Autar Abdillah, 2007: 126).
Konsep simbolik egaliter muncul sebagai salah satu konsep simbolik pemersatu dalam interaksi sosial Arek. Sikap ini dipahami sebagai bentuk tidak adanya orang yang memiliki dominasi atau merasa dirinya lebih berkuasa dari yang lain. Setiap warga masyarakat adalah sama di depan umum. Kesamaan-kesamaan tersebut memberi kesan mengutamakan hubungan sosial yang dinamis ketimbang status sosial.
Sikap demokratis dan atau keterbukaan lahir sebagai dampak pertemuan etnik dan perkawinan etnik, seperti yang dilakukan pendatang Madura, Cina, Arab dan daerah sekitar Jawa Timur, Jawa Tengah dan sebagainya. Lebih jauh, Hendrikus menegaskan bahwa "Inilah yang memperkokoh kultur budaya Arek tentang keterbukaan. Wilayah budaya Arek lepas dari pusat-pusat kerajaan, daerah biasa-biasa saja, berada di luar pengaruh Majapahit dan Mataram. Daerah ini menjadi wilayah perdikan" (Autar Abdillah, 2007: 128). Solidaritas dalam budaya Arek memiliki makna penting dan mengakar dalam seluruh aktivitas sosial. Hal ini dimanifestasikan melalui pembentukan lembaga sinoman yang mengurusi aktivitas masyarakat dalam hal kelahiran, kematian dan kebersihan lingkungan.

III. Inovasi sebagai Sebuah Alternatif
Henri Supriyanto (2001: 33) menawarkan model pengembangan dan pembaruan Ludruk dalam 4 aspek, yakni:
1. tata panggung didukung oleh tata pencahayaan modern
2. tata kostum yang selaras dengan isi lakon
3. teknik tata suara, gaung, bunyi, ledakan, bunyi guruh diimitasikan berdasarkan suara asli
4. garapan lakon: diambil dari novel sastra atau cerita baru yang belum pernah dipentaskan grup lain
Berbeda dengan penawaran model pengembangan dan pembaruan yang dibuat Henri Supriyanto, para pelaku Ludruk bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan propinsi Jawa Timur mencoba mengatasi permasalahan Ludruk dengan melakukan pemadatan. Durasi pertunjukan Ludruk yang biasanya berlangsung hingga delapan jam, dicoba untuk dipentaskan hanya dalam durasi dua hingga dua setengah jam. Hasil dari percobaan ini cukup memberikan arti penting bagi pelaku Ludruk. Penonton mampu bertahan menyaksikan pertunjukan hingga akhir. Al Hirschfeld (Edwin Wilson, 1988) menegaskan "kondisi penonton merupakan unsur yang sangat diperlukan dalam satu kesatuan teater, karena teater terjadi hanya ketika penonton hadir untuk berinteraksi dengan para pemain".
Penonton Ludruk berasal dari masyarakat kelas bawah. Para pejabat pemerintah kota Surabaya pernah berupaya memasyarakat Ludruk, namun pertunjukan ini terkesan hanya basa basi para birokrat, karena tidak mampu menstimulasi Ludruk yang dapat menyentuh semua kalangan masyarakat. Ludruk membutuhkan stimulasi agar segmen masyarakatnya tidak hanya masyarakat kelas bawah.
Masyarakat kelas bawah yang selama ini menjadi penyangga Ludruk membutuhkan perubahan mendasar dalam imej yang selama ini dimilikinya. Inovasi teater tradisional Ludruk mengarah pada perubahan segmen masyarakat penyangga Ludruk. Masyarakat kelas bawah (agraris) memiliki keterbatasan dalam menopang keberlangsungan Ludruk. Mereka menjadi anggota masyarakat yang terpinggirkan dan tersisihkan oleh lajunya derap pembangunan kota, dan bombardir hiburan serba popular dari desa hingga kota (Autar Abdillah, 2003). Keterbatasan relasi sosial, sumber ekonomi (pendapatan), akses politik, dan pengembangan karakter budaya menyebabkan masyarakat kelas bawah yang menopang Ludruk tidak mampu membangun keberlangsungan Ludruk.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka alternatif inovasi teater tradisional Ludruk –di samping yang telah ditawarkan Henrikus Suprianto, adalah:
1) melakukan pemadatan sesuai dengan aktivitas masyarakat
2) mengaktualisasikan karakter budaya Arek yang melekat pada karakter Ludruk.
3) membangun imej baru terhadap Ludruk, agar dapat menjadi bagian dari eksplorasi pengalaman semua kalangan masyarakat. Imej baru tersebut dapat mencakup unsur penceritaan, para pelaku, teknik pertunjukan (termasuk penyutradaraan, peralatan panggung), gaya pertunjukan, dan instrumen pendukung. Ludruk gaul merupakan imej baru sebagai alternatif inovasi teater tradisional Ludruk di wilayah budaya Arek.

IV. Masyarakat Menentukan Pilihan: Wacana Ludruk Gaul
Teater tradisional Ludruk merupakan salah satu teater tradisional yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Selain sifatnya yang egaliter, demokratis, memiliki solidaritas yang tinggi, dan sesuai dengan pola hidup masyarakat di wilayah budaya Arek pada umumnya, juga merupakan salah satu teater tradisional yang memiliki kekhasan budaya. Ludruk dapat menjadi salah satu media dalam menjaga dan memelihara kearifan lokal.
Tujuan khususnya adalah (1) mendekatkan Ludruk sebagai pertunjukan yang bercirikan tradisional-egaliter, intim/gaul. (2) mendorong Ludruk untuk disaksikan oleh semua lapisan masyarakat, baik masyarakat kelas bawah maupun kelas atas. (3) menstimulasi tumbuhnya kelompok-kelompok Ludruk yang baru di wilayah budaya Arek khsusnya, Jawa Timur maupun di wilayah lainnya di Indonesia pada umumnya. Hal ini dimungkinkan karena Ludruk tidak harus menggunakan bahasa Jawa Timuran, tetapi dapat menggunakan bahasa yang sesuai dengan masyarakat penyangganya. Ludruk Gaul diterapkan di sekolah menengah (pertama dan atas) sebagai prioritas utama, karena sekolah memiliki kurikulum ekstra dan intrakurikuler.
Ludruk Gaul adalah sebuah pertunjukan Ludruk yang intim, terjadinya interaksi antara masyarakat penonton dan pemain Ludruk, dan dijadikannya Ludruk sebagai media pengembangan pendidikan, budi pekerti maupun moral di sekolah. Untuk itu, tanggapan masyarakat perlu diformulasikan. Ludruk perlu diformat ulang. Kajian tanggapan masyarakat (social responsibility) tentang Ludruk diharapkan meng-hasilkan bentuk-bentuk pertunjukan yang sesuai dengan zamannya. Konsepnya adalah mendekatkan atau mengintimkan masyarakat dengan Ludruk sebagai institusi sosial yang mampu memberikan semangat hidup, pemahaman tentang budi pekerti, moral dan cara-cara menghadapi persaingan hidup yang sehat. Bentuk teater tradisional yang telah melakukan modifikasi selama ini diantaranya adalah Lenong Rumpi. Media televisi di Surabaya, seperti JTv juga sedang berusaha mengembangkannya dalam bentuk Ludruk Kabaret. Namun keduanya belum mampu memenuhi aspirasi masyarakat.
Hengki Kusuma (46) menjelaskan bahwa Ludruk sekarang hanya ditonton pada saat lawakan. Hal yang sama juga diakui oleh Henrikus Supriyanto. Setelah adegan lawakan banyak penonton yang pulang. Penonton teater tradisional tidak lagi mempedulikan cerita yang ditampilkan. Cerita Ludruk yang jumlahnya sampai ratusan itu sudah dikenal sepenuhnya, baik oleh pelaku Ludruk maupun masyarakat penyangganya. Beberapa stasiun televisi swasta nasional pernah memberikan kesempatan pada sejumlah teater tradisional untuk tampil. Namun demikian, kesempatan itu tidak berlangsung lama. Masalahnya tetap sama, yakni tidak adanya cerita yang menarik perhatian dan sesuai dengan tanggapan (respon) serta aspirasi masyarakatnya.
Ikatan sosial masyarakat penyangga Ludruk yang telah merenggang harus dibangun kembali. Autar Abdillah menegaskan bahwa "Ikatan sosial merupakan ciri penting teater tradisional" (2004). Tentu bukan perkara mudah bagi seniman Ludruk untuk menjalani proses rekonstruksi dan reposisi yang sedikit banyak akan membuat para seniman merasa tidak nyaman. Namun demikian, pilihan-pilihan untuk itu tentu tidak dilakukan dengan serta merta, termasuk menjalin hubungan dengan masyarakatnya yang baru. Bagaimanapun juga, bila Ludruk masih berharap terlalu besar pada lembaga pemerintah, tentu nasib tidak akan pernah berubah. Ludruk tetap dianggap sebagai kesenangan semata, dan dianggap tidak memiliki perjuangan ekonomi bagi para pelakunya (Autar Abdillah, 2003).
Akhirnya, perlu ditegaskan kembali, bahwa inovasi teater tradisional Ludruk di wilayah budaya Arek memungkinkan dilakukan sejalan dengan pilihan masyarakat-nya, baik masyarakat penonton maupun para pelakunya. Berdasarkan karakter sosial, politik, ekonomi, dan budaya, Ludruk memiliki kesamaan-kesamaan dengan masyarakatnya. Jika masyarakat (penonton/penyangga) belum menjadikan Ludruk sebagai pilihan dalam memenuhi kebutuhan apresiasi maupun mempersepsi kehidupannya, maka Ludruk harus melakukan reformat atau mencari alternatif dalam produksinya. Ludruk Gaul menjadi wacana untuk dijadikan alternatif inovasi teater tradisional Ludruk di wilayah budaya Arek. Hal ini didasarkan pada perkembangan zaman dan orientasi segmen masyarakatnya. Dengan demikian, Ludruk (diharapkan) berpeluang menjadi bagian penting bagi pertumbuhan masyarakatnya. Semakin besar segmen masyarakat yang menjadi penyaksi Ludruk, semakin besar pula kesempatan Ludruk memberikan kontribusi pada zamannya.
Daftar Bacaan
Abdillah., Autar, 2003, "Nasib Ludruk di Balik Tobong", Kompas, November 2003
, 2004, "Teater Modern dan Tradisional", Jurnal Prasasti Vol. 52.Th.XIV Februari 2004
, 2007, Budaya Arek Suroboyo, Tesis S-2 pada Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, belum diterbitkan
Achmad., A. Kasim, 2006, Mengenal Teater Tradisional di Indonesia, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta
Kaplan., David, dan Albert A. Manners, 1999, Teori Budaya (The Theory of Culture), terjemahan Landung Simatupang, pengantar Dr. PM Laksono, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lauer., Robert H., 2003, Perspektif tentang Perubahan Sosial (judul asli: Perspectives on Social Change, penerjemah Alimandan SU), Jakarta: PT. Rineka Cipta
Peacock., James L., 2005, Ritus Modernisasi, Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia (judul asli: Rites of Modernization, Simbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama, 1968, University of Chicago, diterjemahkan oleh Eko Prasetyo), Depok: Desantara
Poloma., Margaret M., 2004, Sosiologi Kontemporer (judul asli Contemporary Sosiological Theory, ditermahkan oleh tim penerjemah Yasogama), Jakarta: Kerjasama PT. RajaGrafindo Persada dengan Yayasan Solidaritas Gajah Mada (Yasogama) Yogyakarta
Sztompka., Piƶtr, 2004, Sosiologi Perubahan Sosial (judul asli The Sociology of Social Change) dialihbahasakan oleh Alimandan, cet. 2, Jakarta: Prenada Media
Sumardjo., Jacob, 1992, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Supriyanto., Henri, 1992, Lakon Ludruk Jawa Timur, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
, 1994, "Sandiwara Ludruk di Jawa Timur (yang tersingkir dan tersungkur)", Seni Pertunjukan Indonesia, jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Mediasarana Indonesia
, 2001, Ludruk Jawa Timur, Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon, Surabaya: Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur
Wilson., Edwin, 1988, The Theater Experience, 4th edition, New York: McGraw-Hill Book Company

Rabu, 26 November 2008

Dramaturgi I-11

DRAMATURGI I
Pertemuan 11

Pemikiran dan Metode
Penulis Naskah dan Sutradara

Bertolt Brecht

Bertolt Brecht. Teori dan praktek dramanya sekarang ini menduduki tempat yang sangat penting, tidak hanya untuk kaidah normatif (sebagaimana adanya) studi drama. Tetapi juga kelihatan sebagaimana nama Brecht --dan gagasannya-- muncul di mana-mana: dalam studi abad Pencerahan, teori postmodernisme, praktek dan penelitian teater kontemporer, studi kebudayaan, teori film, studi Marxis, dan sebagainya. Penonton memang merupakan titik pandang utama bagi Brecht, dan hal ini juga terdapat dalam teater perlawanan post-Brechtian, bahwa penonton sangat nyata mengambil peran yang makin produktif.
• Sejak 1930-an, Brecht memusatkan perhatiannya pada konsep teater Epik (Epic Theatre). Baginya, teater modern adalag teater Epik. Kata Epik ini sudah terdengar sejak 1924, ketika ia mengadakan perjalanan dari Munich ke Berlin (Jerman). Secara teoritis, Brecjt memadukan berbagai pembaharuan di berbagai sisi, diikuti dengan ide Marxis.
• Dalam pengantarnya untuk pertunjukan Mahagony (Mahoni), ia membandingkan teater dramatik yang tradisional dengan bentuk epik. Kata kunci yang digunakannya adalah pengalaman (experience) dengan konsepsi dunia, sugesti dengan argumen, perasaan dengan reason.
• Jika teater damatik melibatkan penonton dalam suatu aksi di atas pentas, teater epik membuat atau menempatkan penonton sebagai peninjau dan membangun aktivitasnya. Bila teater dramatik memperlakukan manusia itu sebagai entitas-yang pasti (fixed-entity), sebagai sesuatu yang tak dapat berubah. Maka, teater Epik mengartikan penonton sebagai objek penelitian (object of investigation), sebagai sesuatu yang dapat diubah atau diganti, singkatnya sebagai suatu proses. Dalam teater dramatik dipercaya bahwa kemajuan itu tak dapat dielakkan, maka teater Epik bependapat bahwa kemajuan ditentukan oleh lompatan (leaps). Begitu pula dengan penetapan adegan dalam teater dramatik yang menatapkan suatu adegan untuk adegan lainnya. Sedangkan teater epik menetapkan adegan hanya untuk dirinya sendiri.
• Dalam Little Organon for the Theatre (1949), Brecht menjelaskan:
• Karena kehadiran penonton itu tidaklah diundang untuk melemparkan dirinya ke dalam fable, seperti ke dalam singai dan membuat mereka mondari-mandir tidak menentu, maka kejadian-kejadian yang khusus (individual event), haruslah diikat bersama dalam suatu cara, sehingga simpulnya dapat ditentukan dengan jelas: kejadian-kejadian itu tidaklah berurutan satu sama lainnya tanpa terasa, tetapi suatu kejadian haruslah mampu melewati suatu pertimbangan di tengah-tengah kejadian. Dengan demikian, bagian-bagian dari fable itu dengan hati-hati di susun dari yang satu ke yang lain. Tiap-tiap kejadian di beri struktur sendiri, sehingga dapat dikatakan sebagai drama dalam drama.
• Dalam A Man’s a Man (diproduksi 1933), berkenan dengan seni peran disebutkan bahwa Cara berbicara haruslah dianalisa sesuai gerak, dan usaha dari seorang aktor teater Epik, haruslah mengusahakan agar kejadian-kejadian tertentu yang terjadi di antara manusia itu menjadi jelas, dan menempatkan manusia sebagai lingkungan. Pemeran (aktor) bukanlah tokoh tungal yang tidak bisa berubah, tetapi tokoh yang berubah terus menerus, yang kejelasan keberadaannya justru ketika ia mengalami perubahan.
• Konsep Alienasi (Verfremdung) belum muncul dalam naskah Brecht sebelum 1936. Konsep ini juga ditemukan di Rusia dengan istilah Ostrannenie. Konsep ini dimaknai sebagai kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa tertentu dalam drama itu –dalam arti inskripsi, penyisipan musik dan suara-suara serta teknik sang aktor—hendaklah ditingkatkan atau diasingkan dari batas-batas yang biasa, wajar dan diharapkan akan berfungsi sebagai suatu adegan lengkap yang berdiri sendiri.


Ringkasan
Masing-masing penulis naskah dan sutradara memiliki pemikiran dan metode yang berbeda. Namun demikian, perbedaan tersebut terkadang memiliki hubungan yang progresif satu sama lainnya. Berbagai pemikiran dan metode tersebut juga tidak terlepas dari pertumbuhan masyarakat dan dunia pemikiran teater maupun drama secara keseluruhan.

Topik Diskusi
1. Bandingkanlah pemikiran dan metode beberapa penulis naskah dan sutradara yang anda kenal
2. Cobalah temui beberapa penulis naskah dan sutradara yang tinggal di tempat anda tinggal. Cobalah catat pemikiran metode penulisan naskah atau penyutradaraan yang dilakukannnya
3. Cobalah bandingkan, antara penulis naskah yang ikut terlibat dalam penyutradaraan dengan penulis naskah yang tidak terlibat dengan penyutradaraan


Bersambung ke Pertemuan 12

Dramaturgi I-10

DRAMATURGI I
Pertemuan 10

Pengertian, Tugas, dan Fungsi Sutradara

 Guru
 Pimpinan Rombongan
 Syekh
 Dukun
 Manager
 Produser
 Sutradara (director)

Tatanan Kerja Sutradara
(pendekatan “klasik”)

A. MENENTUKAN NADA DASAR
Mencari motif lakon dan yang mempengaruhi jalannya lakon serta memiliki karakteristik
• kedalaman pemaknaan lakon dan prinsip dasar
• suasana khusus
• mempertegas arah/kecenderungan lakon (mem-perbesar maupun memperkecil), misalnya lakon tragedi, komedi, tragedi-komedi, melodrama, dst.
B. MENENTUKAN CASTING
Menentukan para pemain yang didasari atas suatu analisa lakon secara komprehensif
• casting by ability: berdasarkan kemampuan dari pemain, baik secara teknis (vokal, kecerdasan, kondisi sosio-psikologis dan fisik) dan non teknis (kesiapan dan kemauan maupun kesehatan dari pemain)
• casting by type: berdasarkan tipe fisik pemain sesuai peran yang akan dimainkan
• antitype casting/educational casting: berdasarkan konfrontasi terhadap tipe fisik pemain dan berada di luar kelaziman secara konvensional
• casting to emotional temprament: berdasarkan kecenderungan emosi maupun tempramen pemain yang merupakan bagian dari kebiasaan hidup pemain
• therapeutic-casting: berdasarkan konfrontasi watak yang dimiliki pemain yang bertujuan sebagai media penyembuhan maupun penyadaran

C. MERENCANAKAN CARA DAN TEKNIS PERTUNJUKAN
Sutradara merancang kebutuhan pertunjukan, misalnya penataan pakaian/busana, tata rias (make up), dekorasi, pencahayaan hingga ilustrasi musik berdasarkan analisis lakon dan bekerjasama dengan para penata yang memungkinkan kebutuhan pertunjukan dapat terpenuhi secara efektif dan efisien.

• MENYUSUN MISE EN SCENE
Mise en scene: segala perubahan yang terjadi pada wilayah permainan yang disebabkan oleh perpindahan atau pergerakan pemain maupun peralatan pertunjukan.
• sikap maupun gerakan serta perilaku pemain
 berbaring atau tidur
 duduk maupun berdiri di lantai maupun di kursi atau mungkin di meja
 berdiri sejajar maupun berada di tempat yang lebih tinggi
 memukul maupun melempar
• pengelompokan atau komposisi
 1/2
 1/3
 1/4
 1/5

• horizontal : tenteram, aman, sentosa, seimbang
• vertikal : ekspresi meninggi, perasa, angkuh, kekerasan/pertengkaran
• diagonal : ketegangan jiwa, pelarian
• lurus : kekuatan, kesederhanaan, datar
• melengkung : spontanitas, keramahtamahan, kegembiraan, kebebasan, sakral
• terputus-putus : kekacauan, kekalutan
• variasi saat masuk dan keluar pemain
• variasi penempatan perabotan atau peralatan yang terdapat di atas pentas
• ekspresi kontras dengan pewarnaan pada busana serta efek penataan cahaya
• kesadaran terhadap ruang
• kesadaran terhadap kedudukan masing-masing atau diantara para pemain
• menghidupkan seluruh keberadaan yang ada di atas pentas pertunjukan

MENGUATKAN MAUPUN MELEMAHKAN SCENE
• Penekanan adegan sesuai dengan interpretasi sutradara tanpa mengubah pemaknaan lakon
• Setiap adegan yang muncul dari para pemain, terkadang kurang dapat dikontrol oleh pemain, sehingga sutradara perlu memberikan penguatan pada adegan yang masih lemah, dan sebaliknya (misalnya, dalam bangunan emosi pemain), sehingga terjadi keseimbangan dalam seluruh pertunjukan

D. MENCIPTAKAN ASPEK-ASPEK LAKU/MOVEMENT
• Memperkaya permainan yang diciptakan aktor tanpa pengarahan dari sutradara (aliran laissez faire)
• Memperkaya permainan yang merupakan kreasi sutradara (aliran Gordon Craig)

MEMPENGARUHI JIWA PEMAIN
• Dalam setiap latihan maupun pertunjukan, pemain terkadang mengalami kendala psikologis atau kejiwaan, maka sutradara dapat memberikan masukan dalam memecahkan kendala yang dihadapi pemain, termasuk ketika hendak memasuki suatu peran yang dimainkannya

Identifikasi Penulis Naskah Drama
• Setiap orang memiliki riwayat hidup masing-masing. Dalam perjalanan hidup tersebut terdapat berbagai aktivitas yang dapat dikatakan memiliki nilai tersendiri atau sangat bernilai, sehingga seseorang mendapatkan penghargaan atau memiliki arti penting dalam menjalani kehidupannya. Penulis naskah membangun naskahnya dengan segala upaya membangun “potret” kehidupan yang disaksikan maupun dialaminya. Dengan demikian, naskah drama yang lahir dari seorang penulis naskah drama memiliki ikatan yang sangat erat .
• Seorang sutradara tidak dapat bersikap sesuka hatinya dengan alasan kreatif sekalipun, untuk menempatkan sebuah naskah tanpa memperhatikan sumber-sumber kreatif dari seorang penulis naskah. Saini KM mengatakan ”pembahasan yang agak mendalam tentang latar belakang naskah dan dramawannya (penulis naskah drama), dengan tergambarnya proses kreatif di belakang bahasan-bahasan, diharapkan mereka (seorang sutradara atau orang yang berminat terhadap suatu karya drama) akan memiliki pengetahuan tambahan yang menjadi penopang bagi mereka di dalam memberikan penjelasan-penjelasan kepada para siswa di sekolah” (baca Saini KM, Dramawan dan Karyanya, Bandung: Angkasa, 1993: 7-8) (bisa juga publik pada umumnya).
• Memahami latar belakang penulis lakon bisa lebih dari sebagai tambahan pengetahuan. Hal ini bisa berarti sebagai sebuah pendorong proses kreatif yang baru dalam arti bahwa karya seorang penulis lakon dapat membuka cara pandang baru bagi pembacanya, sekaligus penonton yang akan menjadi objek tontonan ketika naskah drama tersebut dipentaskan, bisa pula sebagai inspirasi dalam mengembangkan aspek-aspek teknis, seperti cara berperan, cara berucap, hingga cara memperlakukan pakaian, dan tata panggung yang dibutuhkan. Dengan kata lain, Suyatna Anirun, sutradara dan aktor dari Studiklub Teater Bandung mengatakan, bahwa “sutradara harus menyukai naskah yang bersangkutan (yang hendak dia sutradarai) hingga memungkinkan pengembangannya sebagai sumber kreativitas” (Tommy F. Awuy, at, al. (penyunting), Teater Indonesia, Konsep, Sejarah, Problema, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1999: 74). Untuk itu, sutradara harus melakukan pengkajian tentang visi/misi yang terkandung dalam naskah yang diisyaratkan oleh pengarangnya, mempelajari latar belakang pengarang dan kecenderungan-kecenderungan dalam karyanya (Awuy, 1999: 75).
Riwayat Hidup Penulis adalah upaya untuk memahami
• latar belakang kehidupan penulis
• Masa kelahiran penulis, masa pendidikan hingga kematiannya (bila penulis naskah atau orang yang menuturkan cerita tersebut telah meninggal)
• Lingkungan yang membesarkan penulis lakon
• Penulis dan zamannya adalah persentuhan penulis naskah dengan persoalan-persoalan yang berkembang pada masa hidupnya.
• Aspek Kultural Penulis adalah latar budaya yang menjadi dasar kehidupan penulis naskah, sehingga mempengaruhinya dalam menulis naskah
• Kritik merupakan tinjauan masyarakat pada umumnya, peneliti atau pengamat pada khususnya dalam membaca atau mengikuti perjalan penulis naskah dalam berkarya.
• Karya-karya terbaik merupakan gambaran terhadap karya atau ciptaan-ciptaan penulis naskah selama hidupnya yang memiliki nilai sejarah atau perubahan yang menentukan dan dipandang sebagai semacam masterpiece atau memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat.


Ringkasan

• Seorang sutradara adalah seorang pemimpin. Ia memiliki tanggungjawab secara artistik terhadap segala kebutuhan pertunjukan, mulai dari mempersiapkan materi cerita atau naskah atau problema keseharian hingga menjadi sebuah pertunjukan.
• Pada awalnya, penyutradaraan teater di anggap sebagai bentuk pengajaran. Orang Yunani menyebutnya didaskalos, yang berarti “guru”. Guru memberikan berbagai kebijakan dan teknik bermain berdasarkan konvensi atau aturan-aturan yang ada. Pada tahap ini, karya drama juga sering muncul dari para guru. Pada abad tujuh belas, dikenal dengan sebutan pengarang-guru-sutradara.
• Sutradara dalam teater tradisional, tidak secara langsung menjadi pengarang atau penulis cerita atau lakon, karena lakon dalam teater tradisional bersifat turun temurun. Bukan saja sutradara yang sudah memahami lakon itu, tetapi rakyat kebanyakan juga mengetahui cerita yang dimainkan. Sehingga, peran yang diambil sutradara bersama para pemainnya adalah menceritakan kembali lakon secara verbal berdasarkan dari cerita tutur tersebut.
• Sutradara juga harus mencoba menghindari terlalu banyak pemeran yang memiliki bentuk tubuh yang sama, atau kualitas vokal yang sama, bila ia membutuhkan adanya kontras. Jadi, ada semacam keseimbangan yang hendak dicapai: mencari pemeran-pemeran yang cocok untuk suatu peran yang khusus, disamping terciptanya kerjasama dalam kerja teater secara berkesinambungan.
• Seorang sutradara hendaklah memahami, bahwa peran merupakan sumber plot, sebab kejadian-kejadian dapat dikembangkan, terutama melalui ucapan dan akting para pemeran itu. Perbuatan manusia yang saling bertentangan atau berbenturan melahirkan peristiwa. Pada dasarnya, setiap manusia selalu ingin memenuhi semua keinginannya. Hal itu akan mengembangkan suatu peristiwa menjadi rentetan peristiwa-peristiwa yang berkelanjutan.
• Dalam setiap peristiwa terdapat pola-pola yang selalu terbentuk. Pola tersebut menjadi semacam permainan dalam kehidupan sehari-hari. Pola tersebut menjadi rangkaian aktivitas yang mencirikan kepribadian seseorang maupun kepribadian penokohan yang dimainkannya. Dalam menciptakan peran, sutradara juga melakukan pelatihan terhadap bentuk- maupun jenis-jenis gerak. Kelahiran gerak tersebut dapat distimulasi melalui berbagai cara improvisasi. Misalnya, improvisasi secara individual, secara berpasangan, dengan menggunakan perabotan, dengan melakukan tanggapan atau respon terhadap bunyi dan musik.
• Berdasarkan perangai atau tingkah laku seorang sutradara, menurut Nano Riantiarno terdapat sedikitnya empat jenis “gaya” sutradara, yakni sutradara pemarah, sutradara pendiam, sutradara cerewet, dan sutradara romantis (Awuy, 1999: 175-180). Dari keempat jenis gaya ini, seorang sutradara harus mampu menyesuaikan dirinya di tengah-tengah kominitas kelompoknya. Ada saatnya sutradara harus lebih banyak pendiam atau sebaliknya lebih cerewet. Namun demikian, harus dihindari sutradara yang banyak bersikap marah atau romantis. Bagaimanapun juga, sutradara harus mampu membangun kerjasama yang dinamis diantara para anggotanya.
• Penyutradaraan dalam teater yang dilakukan oleh seorang sutradara juga merupakan sebuah pekerjaan, dan bukan sebagai sesuatu yang bersifat iseng. Proses penyutradaraan tersebut harus dilakukan dengan serius dan membutuhkan ketekunan, keuletan hingga kesabaran yang tinggi.




Topik Diskusi

Untuk sutradara, harus mampu menyutradarai melalui sebuah produksi pertunjukan. Di samping itu, mampu menjelaskan dan memahami tujuan dan tugas sutradara –termasuk melakukan analisa naskah, serta penulis naskah. Beberapa pertanyaan di bawah ini dapat menuntun menuju kompetensi dasar Sutradara
a. Sebutkan tujuan pada tingkat fundamental dan teknis sutradara
b. Sebutkanlah tugas sutradara
c. Buatlah sebuah analisa naskah
d. Buatlah deskripsi tentang penulis naskah

Melaksanakan atau menerapkan tujuan sutradara, tugas sutradara, dan penulis naskah:
a. Temukanlah sebuah naskah atau persoalan keseharian yang menarik.
b. Lakukanlah penganalisaan dan kajian mendalam terhadap naskah atau persoalan keseharian tersebut
c. Kumpulkanlah orang-orang yang akan memerankan naskah atau persoalan keseharian tersebut, beserta segala komponen artistik dan produksi yang dibutuhkan
d. Lakukanlah latihan bersama. Latihan ini bisa dimulai dengan melakukan proses membaca secara bersama-sama, dilanjutkan dengan penyeleksian terhadap pern yang diambil oleh peserta latihan. Latihan dilanjutkan dengan melakukan proses membaca berkali-kali, dan membangun tafsiran secaradialogis. Masing-masing pihak memiliki suara yang sama. Namun demikian, seorang sutradara yang telah ditunjuk membuat arah atau rencana terhadap tafsiran-tafsiran tersebut. Sehingga, semua persoalan penyutradaraan tertuju pada diri sutradara.
e. Pertunjukkanlah hasil latihan yang telah dilakukan

Adaptasikanlah persoalan-persoalan sutradara yang terjadi di tempat pelaksanaan proses penyutradaraan.
a. Kumpulkan dan susunlah sejumlah persoalan yang ada.
b. Klasifikasikanlah persoalan-persoalan tersebut
c. Buatlah kerangka persoalan berdasarkan bagian-bagian yang saling berkaitan
d. Buatlah konsepsi dari beberapa pendapat orang lain atau peserta lain.
e. Temukanlah dasar pemikiran atau konsep atau teori dalam memecahkan persoalan tersebut

Berikut ini beberapa pernyataan untuk didiskusikan dalam kelompok:
1. Sutradara harus mengutamakan pendapat orang lain, agar dianggap demokratis
2. Sutradara adalah interpretator awal
3. Sutradara ada seorang diktator bagi kelompoknya
4. Sutradara sebaiknya memilih pemain yang wajahnya cantik dan tampan, agar penonton tertarik menyaksikannya.
5. Sutradara sebaiknya menulis naskah sendiri, agar lebih mudah memahaminya.
6. Sutradara harus mengutamakan aktor sebagai pemain dibandingkan dengan komponen lainnya, seperti penata artistik dan manajemen, karena aktorlah yang disaksikan langsung oleh penonton.
7. Terdapat tiga aspek karakter, yaitu Sosiologis, Psikologis, dan Fisiologis. Sedangkan aspek Moral bisa digunakan, bisa pula tidak.
8. Penulis naskah drama penting diketahui agar mampu memahami drama tersebut secara lebih mendalam.
9. Penulis naskah drama sebaiknya berasal dari kalangan sendiri yang memahami situasi dan kebiasaan kelompok.


Bersambung ke Pertemuan 11

Dramaturgi I-9

DRAMATURGI I
Pertemuan 9

Seni Peran Constantin Stanislavsky
Hingga Jerzy Grotowsky

• Constantin Sergeyevich Stanislavsky (1863-1938) yang lebih sering di panggil Alexeyev atau di Indonesia dengan sebutan Stanis, lahir di Moskow, 17 Januari 1863. Ia menjadi fenomenal di seluruh dunia karena temuan-temuan seni perannya sangat signifikan dalam dunia teater. Namun demikian, temuannya pada upaya persiapan seorang aktor telah menempatkan dirinya sebagai tokoh besar penemu seni peran dan keaktoran.
• Selain seni peran atau keaktoran, Stanislavsky juga seorang sutradara yang baik. Ia pelopor dalam pendekatan presentasi. Dia ingin para aktor dapat bekerjasama dan mampu mempertunjukkan serta mengkomunikasikan keseluruhan pesan yang ingin disampaikan penulis naskah.
• Di samping Stanislavsky, kita juga dapat menemukan Methode-nya Lee Strassberg, dan Psychological Naturalism-nya Uta Hagen yang menggunakan pendekatan Presentasi.
• Pendekatan seni peran Presentasi disebut juga pendekatan realisme mengutamakan identifikasi antara jiwa si aktor dengan jiwa si karakter, sambil memberi kesempatan kepada tingkah laku untuk berkembang. Perkembangan tingkah laku berasal dari situasi-situasi yang diberikan penulis naskah. The magic if, bagi Stanislavsky sebagai suatu ekspresi aksi-aksi karakter yang tergantung dari identifikasi yang dibuatnya dengan pengalaman pribadi seorang aktor.
• Berbeda dengan pendekatan Presentasi adalah pendekatan Representasi –di sebut juga pendekatan formalisme. Pendekatan Representasi mengutamakan segi ekspresi pertunjukan, baik itu dari segi fisikal, intelektual, maupun spiritual. Di samping itu, pengungkapan ekspresif, puitis, dan romantis menjadi titik tolak pula. Semuanya mengutamakan detail-detail pengungkapan yang di atur sedemikian rupa, sehingga keindahan yang diharapkan dapat terilustrasi. Tingkah laku dan status sosial, lingkungan, tradisi-tradisi di mana karakter tersebut pernah hidup, diabadikan, lalu diilustrasikan secara eksplisit. Si aktor mempelajari sejarah dan dunia tempat si karakter hidup. Si aktor menyelidiki lingkungan keluarga si karakter, umur, tinggi dan berat badan, bentuk wajah, bahkan gestur-gesturnya dan dilatih sedemikian rupa untuk dimimikkan kembali. Jadi, aktor bertugas sebagai seseorang yang merepresentasikan karakter yang dimainkan.
• Jerzy Grotowsky merupakan sutradara dan salah seorang penggagas berdirinya Theatre Laboratory. Ia mencoba menemukan salah satu konsep berperan yang kini cukup banyak diminati, terutama di Eropa. Di Indonesia, pemahaman seni perannya masih dipahami secara dangkal.
• Grotowsky menolak suatu gagasan seni peran yang disebut electicisme. Menurut dia gagasan electicisme itu palsu. Di samping itu, ia mencoba pula menentang pemahaman bahwa teater merupakan gabungan dari berbagai disiplin seni. Lalu, Grotowsky menekankan produksi pementasannya pada hubungan yang kuat antara aktor dan penonton. Bagi dia, tidak perlu ada tata rias, musik bahkan panggung sekalipun, yang penting adalah pertemuan aktor dan penonton.
• Grotowsky mengakui bahwa ia telah mempelajari dan metode yang terpenting dia pelajari dan juga di tiru sebagai pembuka perspektif metodenya, antara lain latihan irama dari Dublin, penemuan tentang reaksi ekstroversif dan introversif dari Delsarte, teori olah tubuh (physical action) Stanislavsky, latihan bio-mekanik yang dikembangkan Meyerhold, teori sistesis dari Vakhtangov, begitu pula dengan teknik latihan Opera Peking, Kathakali di India, dan teater Noh di Jepang.
• Metode yang digunakan Grotowski adalah metode Deduktif, yakni mencoba mendedusir ketrampilan-ketrampilan melalui ketegangan-ketegangan menuju situasi yang paling ekstrim, dengan mencoba membuka diri seluas-luasnya, tanpa perasaan egoistik. Aktor melakukan penyerahan diri secara total. Mereka berusaha membatasi perlawanan organ tubuh terhadap proses psikis. Denyut jantung dan reaksi saling bersaing, tubuh hilang, terbakar, penonton Cuma melihat serangkaian denyut dan tubuh. Inilah yang di sebut Via Negativa.
• Via negativa –merupakan salah satu prinsip seni peran terpenting dari Grotowski, bukanlah tumpukan keterampilan (skill), tetapi usaha menghilangkan semua penghalang. Konsentrasi tidak dipahami secara spiritual, tetapi pada komposisi peran dan konstruksi bentuk-bentuk, pada ekspresi tanda-tanda, yaitu pada segi-segi simboliknya yang tampak.
• Penyusunan suatu peranan sebagai suatu sistem tanda-tanda yang membeberkan apa yang ada di balik topeng atau kepalsuan manusia: segala dialektika tingkah laku manusia. Seseorang tidaklah akan bertingkah laku wajah atau alamiah, bila ia dihadapkan pada situasi yang mengguncangkan jiwanya.

Ringkasan
Dalam berperan atau berakting, seseorang dapat melakukan berbagai pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut memiliki konsekuensinya masing-masing-masing. Pendekatan Representasi memandang bahwa berbagai aspek formal –yang fashionable, dalam kehidupan dapat diilustrasikan dalam berperan. Sedangkan, pendekatan Presentasi memandang perlunya pendekatan berperan kejiwaaan si aktor dengan si karakter yang diperankan. Lebih jauh, Jerzy Grotowski memosisikan seni peran yang mampu membangkitkan kreativitas aktor lebih luas.


Topik Diskusi
1. Jelaskan konsep seni peran Stanislavsky
2. Bagaimana perbedaan seni peran Stanislavsky dengan Grotowsky
3. Jelaskan perbedaan seni peran Representasi dan Presentasi


Bersambung ke Pertemuan 10