Kamis, 29 Januari 2009

Teater Eksperimental

Teater Eksperimental
oleh Putu Wijaya

4 Oktober 1993 • & Komentar
tulisan ini dibuat untuk menyambutulang tahun ke-25 TEATER POPULER

Teater yang hadir dengan “bahasa” yang dipahami masyarakat, akan mendapat “wilayah”, “kedaulatan”, “bentuk” dan juga “kekuasaan”. Teater yang menguasai “bahasa yang diterima masyarakat” akan memiliki kekuatan, wewenang, hak, popularitas, pengaruh dan akhirnya juga “kekebalan” yang harus ditentang.
Kalau tidak, akan terjadi kemacatan teater. Dalam keadaan macat, tak akan pernah lagi teater melahirkan peristiwa teater, yang memberikan sumbangan spiritual pada perkembangan budi-daya manusia. Teater akan menjadi hiburan murni yang memperbodoh manusia seperti bermacam-macam racun yang dilahirkan oleh kegiatan pasar. Panggung akan menjadi kuburan seniman teater dan lokalisasi pelacuran dari masyarakat penonton yang dekaden.
Kami adalah orang-orang yang memilih untuk melawan meriam-meriam teater yang sudah mengabdi kepada pelacuran pasar. Kami terpaksa membeci pasar, selama kami melihat tempat itu sudah begitu menggoda iman saudara-saudara kami dan membunuh banyak bakat-bakat terbaik.
Selama pasar menjadi reaktor yang menguras dana yang seharusnya dapat membangun pencakar-pencakar langit dalam kerajaan spiritual setiap diri anggota masyarakat. Sehingga pribadi-pribadi yang selayaknya dapat tumbuh sebagai unit metropolitan budaya, semakin langka.
Semakin menipis, semakin kehabisan darah untuk melakukan perlawanannya pada erosi di dalam sanubari yang semakin lama semakin membuas, kurangajar bahkan juga, maaf biadab.
Kami menentang pasar, karena ketidakmampuan serta ketidaktegaan kami sendiri untuk mendamaikan ide-ide kami tentang tontonan dengan kehendak raja-raja yang telah menjadi diktator dan berbuat semena-mena untuk kepentingan kekuasaannya sendiri.
Kami memilih jalan untuk melawan, karena kami percaya, jalan yang ditempuh teater sudah dibelokkan ke arah yang bertentangan dengan kemanusiaan. Cerita yang diangkat ke atas lantai pertunjukkan bukan lagi bayang-bayang kebenaran, tetapi tarian strip dari uang yang mempergunakan politik, ilmu jiwa, panutan moral atau kotbah filsafat yang sudah hampir mampus, sebagai buku sucinya.
Teater sudah menjadi kambing guling dalam sebuah pesta pengkhianatan mantan-mantan sukarelawan yang semula sudah teken kontrak unmtuk melakukan pengabdian sosial pada kemanusiaan. Untuk itu kami berpacu melawan arus dan melakukan apa saja yang memungkinkan kami bebas dari “bahasa” yang ada.
Kami melakukan terobosan, percobaan-percobaan, pengujian serta serangan-serangan, yang pada prakteknya memberikan alternatif lain. Bukan saja tentang cara mengucapkan sesuatu, cara melihat sesuatu, cara menilai sesuatu, cara merasakan sesuatu, cara mendengar, menghayati, menghirup, mengecap, meraba, menyebut, menamakan, mempersoalkan dan memikirkan sesuatu.
Kami terutama mencecer untuk mempertimbangkan kembali segala sesuatu yang sudah diterima sebagai sebuah kebenaran mutlak yang tak perlu dipersoalkan lagi.
Kami menggugat. Kami mengaum. Kami berontak. Untuk menggantikan seluruh teks teater yang sudah kedaluwarsa. Seluruh isi tontonan yang sudah kalah dan tunduk di kaki gelombang kemenangan mukibat orde pengemas.
Kami menyerbu idiom-idiom karatan yang sudah jadi idiologi lamban dan gemuk, untuk dipensiunkan, karena dia tidak lagi menolong dialog kita, tetapi sudah menyesatkan bukan saja masyarakat teater, tetapi juga semua tetangganya yang lain, termasuk nyamuk pers, para maecenas, partner dagang dan pejabat-pejabat berwenang yang pada prakteknya sudah mampu menentukan hidup dan mati.
Kami melakukan sesuatu yang berbeda dengan tujuan, tata-cara, bahkan juga ritus dari bukan saja apa yang sudah galib dilaksanakan, tetapi juga dari apa yang sudah pernah kami lakukan sendiri. Gebrakan ini adalah serangan yang menentang ke segala arah, termasuk ke dalam tradisi kami pribadi atau mereka yang lebih suka disebut sebagai: para pembaharu.
Karena kami tidak semata-mata dijajah oleh kehendak untuk memenangkan segala sesuatu yang baru. Tidak dihantui oleh cita-cita untuk memenangkan pertempuran. Tidak didorong oleh hasrat untuk mengibarkan sebuah panji-panji kami lebih tinggi dari panji-panji orang lain.
Karena kalau itu sampai terjadi, segalanya kemudian akan berakhir kembali persis seperti apa yang kini kami tentang. Yakni tirani baru, yang bisa lebih lalim dari apa yang ada sekarang. Kami lebih tertarik pada api revolusi yang berkobar-kobar abadi untuk memanggang apa saja yang menjadi mapan setiap saat. Termasuk apa kini atau yang pernah kami sebut sendiri, sebagai sesuatu yang baru.
Lebih dari apa yang terkandung dalam pengertian “baru” baik isi maupun bentuknya, kami menginginkan ada “perimbangan”, ada “kemungkinan”, ada “pilihan”. Kebimbangan adalah “suci”. Kami mengusahakan untuk selalu ada jalan lain untuk berucap, mengucapkan dan berdialog, termasuk juga menentang sendiri apa saja yang sedang kami kecapkan.
Jalan-jalan di dalam jalan kami sendiri harus tak terbendung. Mesti terus-menerus lahir. Sehingga kemungkinan bersinggungan, tumpang-tindih bahkan bertentangan dalam diri sendiri adalah sesuatu yang normal.
Di mata kami, berbeda dengan kesimpulan yang sudah diterima, dunia ini makin lama bukannya makin bertambah sempit, namun bertambah lebar dan tak terjamah. Globalisasi menambah hiruk-pikuk yang memacu kegelisahan makin parah, namun juga sekaligus dikuntit oleh keterpencilan yang sangat sepi.
Perbedaan-perbedaan lama yang sudah dibunuh dalam kesepatakan dan pengertian, membuat kita tiba-tiba ngeh pada perbedaan-perbedaan baru, yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Perbedaan yang mungkin beberapa kali lipat dari perbedaan yang ada sebelumnya. Namun perbedaan yang bukannya membuat kita bertambah jauh, tapi justru semakin membutuhkan.
Teater mengingatkan penonton pada medan kehidupan kini yang lebih rumit dan memerlukan ekstra awas. Karena itu besar kemungkinan, teater akan bertentangan dengan kehendak penonton. Bertentangan dengan kehendak ahli-ahli filsafat, politik dan ekonomi. Bahkan bisa bertolak-belakang dengan kehendak para kritisi dan ahli estetika. Teater tidak menghasilkan rasa nikmat. Teater adalah racun.
Teater eksperimental akan terus-menerus berlawanan dengan kehendak pasar. Bermusuhan dengan kemauan orang banyak. Dan bukan mustahil bertentangan dengan kebahagiaan kami sendiri.
Teater eksperimental adalah teater yang tak hanya melawan kekuasaan mutlak bahasa teater yang sudah mendapat pengesahan di dalam pasar dan hati masyarakat. Teater eksperimental adalah juga teater yang setiap kali berontak pada dirinya sendiri yang sudah terjebak dalam bahasa yang diam-diam mengandung opium kemapanan.
Teater eksperimental adalah teater yang selalu menolak untuk tahu. Teater yang sanggup mengingkari dirinya setiap kali. Teater yang anti pada statusquo. Teater yang tak ingin mengada. Teater yang tak pernah diam. Teater yang selalu dalam keadaan bergerak, bimbang, meragukan, merindukan dan akhirnya mampus dalam mencari sesuatu yang belum ada, tidak ada atau mungkin tidak akan pernah ada.
Walhasil teater yang nihil. Teater yang zero. Namun juga sekaligus teater yang amat penuh, ambisius dan pretensius.
Teater eksperimental adalah langkah ke zone terapung, di mana ruang berlapis-lapis dengan dimensi yang tak terjangkau. Di mana kebenaran hadir dalam jutaan nuansa yang pelik dan membingungkan siapa saja yang menginginkan kemutlakan. Satu langkah lagi, satu langkah kecil lagi untuk mendekati “Misteri” yang semakin banyak kita ketahui, semakin membuat kita ragu-ragu tentang kebenaran yang ada di kepala kita.
Teater yang membuat manusia lebih menyadari keadaannya yang tak berdaya. Teater yang mengingatkan manusia pada dirinya sebagai noktah yang tak punya hak dan kekuatan, yang tak kekal, yang pasti akan musnah. Apalagi kalau tidak melakukan apa-apa.
Teater eksperimental adalah sebuah idiologi tontonan. Adalah sebuah ritus. Adalah sebuah ajaran kebijakan. Dan sekaligus juga: sebuah teror mental.