Rabu, 29 Oktober 2008

DRAMATURGI I

Teori Tragedi dan Komedi


Teori Tragedi
Dari Yunani klasik hingga sekarang ini, masih terus dilakukan pencarian pengertian tragedi. Satu pengertian yang paling awal dan sangat berpengaruh adalah yang ditemukan dalam Poetics Aristoteles (kira-kira 335 Sebelum Masehi/SM)
Tragedi, merupakan peniruan perilaku yang serius, lengkap, dan dari jarak tertentu; dalam hiasan bahasa dengan berbagai jenis hiasan artistik, beberapa jenis ditemukan dalam bagian drama yang terpisah; dalam bentuk perilaku, bukan cerita; melalui efek rasa kasihan dan ketakutan tempat penyucian emosi yang tepat.
Di samping itu, tidak ada konsensus ilmiah dalam memaknai pengertian Aristoteles, penggambaran tragedi Yunani klasiknya memberikan pengetahuan yang mendalam ke dalam genre. Aristoteles membagi pahlawan laki-laki dan pahlawan wanita yang tragis sebagai salah satu kelahiran keturunan ningrat, orang yang tidak semuanya baik dan tidak juga buruk tetapi nasib tokoh utama yang menderita di masa depan (peripeteia) karena cacat tragis dalam karakter (hamartia). Pahlawan laki-laki atau wanita harus belajar dari kehancuran ini. Aristoteles menunjukkan, bahwa tragedi klasik dipusatkan dalam tindakan seorang tokoh utama. Dia telah menyalahi penilaian sebelumnya sebagai keaharusan kesatuan waktu, tempat, dan tindakan; tetapi dia hanya memiliki pengamatan tragedi klasik ”berusaha keras, sejauh mungkin, untuk membatasi tragedi klasik itu sendiri hingga revolusi tunggal matahari, atau kalau tidak karena melebihi sedikit batas ini” dan memiliki tindakan tunggal. Dia tidak pernah menyebutkan kesatuan tempat.
Horace, orang yang menulis Seni Puisi (Art of Poetry) (24-20 SM) hanya melengkapi bagian teori dramatik dari periode Romawi, menentukan aturan tragedi. Dia menekankan konsistensi dalam perwatakan dan dengan mengenyampingkan pembebasan yang bersifat gembira. Bagi Horace, fungsi tragedi adalah untuk mengajar (to teach). Dia juga menetapkan struktur lima-tindakan.
Kritukus Renaissan Italia membagi kriteria untuk tragedi yang diperdebatkan untuk abad ini. Di antara kritikus itu adalah Julius Caesar Scalinger (1484-1558) dan Lodovico Castelvetto (1505-1571). Bagi ke dua orang ini, tragedi memperlakukan individu dari keturunan bangsawan. Campuran genre dilarang. Kesatuan waktu (dua puluh empat jam), tempat, dan tindakan tak dapat diganggu-gugat. Mereka mengindikasikan bahwa penulis drama tragis, akan berusaha keras mengilusikan kenyataan (kemungkinan). Tragedi menjadi bersifat mendidik (didactic).
Dalam era Elizabethan Inggris, Sir Philip Sidney (1554-1586) dalam The Defense of Poesy (1583), mendukung cita-cita neoklasik Italia. Di Spanyol, Lope de Vega mempertahankan pembongkarannya terhadap aturan tragedi neoklasik dalam esainya Seni Menulis Drama Baru (The New Art of Writing Plays) (1609).
Selama abad delapan belas, terdapat gerakan yang jauh dari kesetiaan keras terhadap cita-cita orang Italia. Preface to Shakespeare (1765) karya Dr. Samuel Johnson membela gaya tragis Shakespeare. Gotthold Ephraim Lessing, dalam Dramaturgi Hamburg (Hamburg Dramaturgy), berpendapat bahwa kritik neoklasik memiliki kesalahan penilaian terhadap Aristoteles. Dia juga menyebutkan penerimaan kritis tragedi domestik, yang memperlakukan klas sosial bawah. Pada akhir abad delapan belas dan awal abad sembilan belas, tokoh romantik Jerman, bernama Johann Wolfgang von Goethe dan Friedrich von Schiller, mulai menulis tragedi yang mengikuti Shakespeare ketimbang Yunani.
Sepanjang abad sembilan belas, para filsuf berusaha membatasi hubungan tragedi dengan kehidupan masa kini. Samuel Taylor Coleridge, seperti banyak tokoh romantik, menekankan kebutuhan tragedi pada keberadaan keduniawian yang lebih penting. Sebelumnya, tokoh naturalis semacam Emile Zola (1840-1902) berpendapat, bahwa tragedi cermin kehidupan sehari-hari. Essai Freidrich Nietzsche berjudul Kelahiran Tragedi (The Birth of Tragedy) (1871) mungkin merupakan essai yang sangat penting abad ini. Menurut Nietzsche, filsuf Jerman, ”tragedi lahir dari peleburan manusia Dionisiac dan Apollo, primitif dan rasional”.
Sepanjang abad dua puluh, para penulis menjelajahi bersama-sama tentang ritual dan praktek teaterikal masa lalu dalam teori tragedi Yunani dan Elizabethan. Pendapat terbaru dari seluruh asusmsi tragis mengesankan alasan yang sangat komprehensif untuk refleksi yang salah urus dalam drama ini ketimbang faktor tunggal semacam cacat tragis (tragic flaw).
Sebagaimana tragedi pada saat ini, abad dua puluh memperlihatkan kemacetan pengertian dan perbedaan generik. Arthur Miller, dalam esainya ”Tragedi dan Pikiran Manusia”, berpendapat bahwa pikiran manusia adalah subjek tragedi yang tepat dalam pikiran tertinggi seperti Raja”, karena ”perasaan tragis dibangkitkan ... ketika kita berada dalam watak yang siap untuk mengorbankan kehidupannya ... untuk mengamankan ... pikiran martabat pribadinya. Francis Ferguson, dalam The Idea of Theatre (1949), berpendapat bahwa tragedi pahlawan yang melakukan tujuan, hal ini, sebuah tujuan yang mungkin menuju penghancurannya; bahwa tujuan dibawa dengan keinginan besar (passion); dan bahwa hasil pencarian dalam persepsi tindakan tragis. Kekecewaan dengan pengertian genre direfleksikan dalam karya Georg Steiner berjudul Kematian Tragedi (The Death of Tragedy) (1961). Demikian pula, penulis drama Swiss Friedrich Duerrenmant (The Visit, 1956) telah mengesankan bahwa tragedi mungkin tidak terlalu berbeda dengan ”PertunjukanTinju dan Judo abad kita”.

Teori Komedi
Jika tragedi ternyata sulit untuk ditegaskan, komedi kelihatan juga sangat problematik bagi ahli teori. Pada abad ke tujuhbelas, kebingungan Dr. Samuel Johnson membawanya pada penjelasan bahwa ”komedi impropitious tertentu bagi pendefenisi”.
Poetics Aristoteles (kira-kira 335 SM) sangat sedikit berisi acuan terhadap genre lighter. Mengikuti paham filsuf Yunani Klasik, ”komedi adalah peniruan artistik manusia dari kecenderungan moral inferior, cacat moral, bagaimanapun juga, tidak dalam semua pandangan, tetapi lebih jauh hanya sebagai kelemahan mereka yang menggelikan. Dalam komedi, dia mencatat, sebab kelemahan perasaan sakit atau kerugian yang tidak nyata.
Kritikus Renaissance meletakkan sangat kaku dan pendekatan akademik dalam usaha mereka untuk mendefenisikan komedi. Bagi kritikus ini, komedi memperlakukan persoalan kesukaan membuang waktu. Tetapi, yang terpenting, mereka mengesankan bahwa genre komik memperlakukan dengan karakter strata sosial yang rendah. Lalu, klas menjadi faktor kunci mendefenisikan genre. Penggunaan klas untuk mendefenisikan komedi merupakan kemungkinan diambil dari tipe karakter orang yang menjelajahi ”komedi baru” Yunani yang sama baiknya dengan desakan Horace bahwa setiap genre secara konsisten menjelajahi karakter. Kritukus Roma menekankan bahwa karakter tragis harus menjadi bangsawan dan karakter komik adalah orang yang tolol.
Komedi watak, di bangun keluar dari commedia dell’arte Renaissance, dan komedi perilaku terkenal pada abad tujuhbelas dan delapan belas. Penulis naskah Perancis Moliere meyakini, bahwa penontonnya dapat belajar dari dramatisasi yang menertawakan gaya umum. Penulis naskah era Restorasi Inggris terutama memfokuskan dalam seksualitas yang lucu dan keinginan sosial; sebab itu John Dryden menegaskan bahwa komedi dapat menggambarkan keanehan perwatakan. William Congreve, pengarang The Way of the World (1700), juga menganut teori komedi ini.
Pada abad sembilanbelas, fungsi sosial komedi disepakati ahli teori. Kritikus Inggris George Meredith, dalam An Essay on Comedy (sebuah esai tentang komedi) (1877), menegaskan untuk mengoreksi fungsi komedi. Komedi, dia beralasan, adalah ”sumber pikiran suara” (fountain of sound sense) dan ”pokok peradaban” (ultimate of civilizer). Kritukus Perancis Henri Bergson, dalam Laughter (Orang yang Tertawa) (1900), memandang dasar komedi sebagai “sesuatu yang bertatahkan mekanis tentang kehidupan”. Bergson juga melihat nilai pribadi dan sosial dalam komedi: ”Sebagaimana kejadian yang sangat populer”, dia menulis ”seni yang lucu membebaskan kita dari bahaya tanpa menghancurkan gagasan utama kita dan tanpa mengerahkan pasukan yang besar.

Ringkasan
Meskipun banyak pendapat tentang tragedi dan komedi, secara sederhana Tragedi dapat dipandang sebagai peristiwa yang menyedihkan, di mana akhir cerita berakhir dengan kekalahan maupun kesedihan bagi tokoh utama.
Sedangkan Komedi justru sebaliknya, merupakan peristiwa yang lucu dan gembira, di mana tokoh utama mendapatkan kemenangan.

Topik Diskusi
1.Bacalah sejumlah drama Tragedi dan komedi. Bagaimana pendapat anda tentang kekuatan dari tragedi dan komedi drama-drama tersebut
2.Bagaimana pendapat anda tentang perbedaan Tragedi dengan drama sedih, dan komedi dengan lawak
3.Bagaimana pendapat anda tentang drama tragedi dan komedi di Indonesia maupun di daerah tempat anda tinggal


Bersambung ke Pertemuan 4

Tidak ada komentar: