Rabu, 03 Desember 2008

Inovasi Pertunjukan Teater Tradisional Ludruk di Wilayah Budaya Arek

Inovasi Pertunjukan Teater Tradisional Ludruk
di Wilayah Budaya Arek

Oleh Autar Abdillah


Abstrak

Ludruk merupakan salah satu jenis teater tradisional di Jawa Timur. Kabupaten Jombang dipercayai menjadi tempat asal usul Ludruk. Ludruk kemudian menyebar ke Surabaya dan wilayah budaya Arek pada umumnya. Penyebaran ini tidak terlepas dari posisi Surabaya sebagai kota besar dan pusat perdagangan. Moordati menyatakan bahwa "... Surabaya memiliki keistimewaan tersendiri sebagai sebuah kota pelabuhan modern, perdagangan maupun industri terbesar sepanjang abad XIX" (Freek Colombijn, dkk (ed.), 2005: 302). Surabaya tidak tertandingi oleh kota-kota pelabuhan manapun seperti Calcutta, Rangoon, Singapore, Bangkok, Hongkong dan Shanghai (Howard Dick, 2000: xvii; Moordiati, 2005: 302). Surabaya dan Jombang merupakan basis pertumbuhan budaya Arek, selain Malang, Mojokerto, Gresik, Kediri, Sidoarjo, dan sebagian Blitar..
Seiring dengan perkembangan kota Surabaya menjadi pusat perdagangan, banyak kelompok-kelompok teater berdatangan, baik dari kota-kota sekitar maupun Eropa. Kehadiran teater-teater "Realis" dari Cina dan Arab lewat misi dagang, dan dari Belanda maupun Eropa pada umumnya melalui kolonisasi, memperkuat pertumbuhan teater di Surabaya khususnya dan di Jawa Timur umumnya. Rombongan teater pertama adalah Komedie Stamboel di Surabaya, 1891 oleh August Mahieu, Yap Goan Tay, dan Cassim. Pada zaman Jepang menjadi semacam titik kulminasi kemunculan teater, sekaligus mendorong terciptanya kompetisi berteater terhadap teater tradisional Ludruk.
Dinamika kota mendorong teater tradisional mengalami perubahan terus menerus. Namun demikian, para pelakunya dalam empat dasawarsa terakir ini justru menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak bisa dirubah. Padahal, teater tradisional Ludruk sekarang tak ubahnya teater modern yang berpakaian dan berbahasa Jawa, serta alat musik tradisional Jawa. Salah satu buktinya adalah semakin berjaraknya penonton dengan pertunjukan Ludruk.
Untuk itu diperlukan pemahaman bersama terhadap upaya pembentukan Ludruk yang searah dengan perkembangan zamannya. Perubahan sosial, politik, dan ekonomi merupakan dasar pijakan untuk mengkaji upaya inovasi teater tradisional Ludruk di wilayah budaya Arek. Meskipun ada upaya membentuk "Ludruk Generasi" oleh tokoh masyarakat Surabaya, dan upaya siswa SMAN 5 dan SMKN 9 Surabaya memodifikasi Ludruk, namun tidak mampu mengubah tanggapan pelaku dan masyarakat terhadap Ludruk. Masyarakat masih berpandangan, bahwa Ludruk merupakan ekspresi masyarakat kelas bawah, kumuh, tidak rasional, dan miskin.




I. Perkembangan Ludruk di Jawa Timur
Ludruk diidentifikasi dalam berbagai pemaknaan, mulai dari penari (badhut dalam bahasa Jawa, abad 8), Lerok (Lerok Bandan, abad 13 dan 14), badhut/badhutan (abad 17), hingga Ludruk (abad 20 sampai sekarang). Di samping itu, Pigeaud (1928: 224; dalam Henri Supriyanto, 2001: 9) juga memaknai Ludruk sebagai modderig (jembek, jemblok), bermodderig (gluprut), grappermarket (badhutan), dan volkstoneel (teater rakyat). Sedangkan manuskrip Wilken menerangkan bahwa Ludruk juga bermakna nama untuk anak kecil wanita yang bloon (bodoh) karena tampak lucu. Seorang pelaku Ludruk dari Sidoarjo bernama Usman (75 tahun) mengatakan pemain Ludruk diidentifikasi dari gela-gelo dan gedruk-gedruk, yang berasal dari penari "Ngremo" yang bila menari selalu gela-gelo dan gedruk-gedruk. Kata Ludruk pun dikenal dengan Lodrok.
Berdasarkan pemaknaan di atas, terdapat empat klasifikasi penting perkembang-an Ludruk dengan menganbil kata Lerok sebagai titik tolaknya. Menurut Usman, lerok atau lerok-lerok menunjukkan pemain yang naik panggung, mukanya memakai bedak putih dan tebal (pupuran). Keempat klasifikasi tersebut adalah Lerok Bandan, Sandiwara Lerok, Lerok Besut, dan Lerok Berlakon (Henri Supriyanto, 2001: 8). Lerok Bandan dan Sandiwara Lerok dikenal memiliki makna mistis, dan fungsi-fungsi sosial, seperti pengobatan atau penyembuhan. Sedangkan Ludruk Besut dan Ludruk Berlakon lebih berkonotasi pertunjukan tradisi yang tidak lagi membawa efek mistis, dan cenderung sebagai hiburan dalam mengisi waktu luang masyarakat.
Perkembangan Ludruk selanjutnya dibagi dalam tiga periode (Pigeud; dalam Henri Supriyanto, 2001: 10), yakni Ludruk (lerok) Ngamen, Ludruk (lerok) Besut, dan Ludruk (lerok) sebagai teater berlakon . Selain dalam tiga periode ini, secara historis Ludruk juga dapat dibagi dalam beberapa periode, misalnya periode kolonial Belanda, penjajahan Jepang, periode Kemerdekaan, pasca Kedaulatan RI 1950 (periode "subur"), peleburan pasca G30S PKI (pasca Kevakuman), Orde Baru (periode Kebangkitan, profesional dan independen), dan abad 21. Ada satu lagi tipologi perkembangan Ludruk dalam aspek pengemasannya, yaitu (1) Ludruk menggunakan panggung-gedhongan atau Ludruk tobong, (2) Ludruk Teropan atau untuk tanggapan, dan (3) Ludruk Televisi.
Jika dicermati masing-masing perkembangan, maka dapat disimpulkan bahwa Ludruk mengalami berbagai perubahan seiring dengan perubahan zaman. Perubahan zaman dapat ditafsirkan sebagai adanya perubahan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Perubahan tersebut –baik langsung maupun tidak langsung, membawa pengaruh terhadap perlakuan masyarakatnya terhadap Ludruk.
Perubahan sosial dapat dikategorikan adanya mekanisme perubahan dalam perspektif materialistis, idealistis maupun interaksional. Sztompka (2004: 21), menegaskan bahwa dalam mekanisme perubahan sosial hanya perlu dibedakan dua jenis proses sosial yang tergantung pada peran manusia. Pertama, proses sosial yang tak diharapkan dan sering tak disadari. Proses ini di sebut juga sebagai ”proses spontan”. Kedua, proses yang dilancarkan dengan maksud atau tujuan yang diarahkan pada tujuan tertentu, direncanakan dan dikendalikan oleh seorang aktor yang dibekali kekuasaan. Inilah proses yang disebut sebagai ”proses yang direncanakan” atau dipaksakan dari atas (Sztompka, 1981; dalam Sztompka, 2004: 21). Kedua bentuk proses ini bisa terjadi secara bergantian dalam suatu perubahan sosial.
Ludruk yang berkembang dalam proses perubahan sosial berada dalam hampir semua mekanisme pespektif perubahan sosial, baik materialistis, idealistis maupun interaksional. Namun demikian, satu hal yang penting dicermati adalah adanya target-target dan agen-agen perubahan yang menentukan perkembangan Ludruk. Target perubahan Ludruk lebih pada terjadinya perubahan hubungan sosial. Masyarakat menempatkan Ludruk sebagai ruang "ritual" sosial, sehingga target-target ekonomi terkadang dikesampingkan. Agen-agen perubahan sosial dalam perkembangan Ludruk terdapat pada juragan atau majikan, penguasa daerah setempat (bisa lembaga pemerintah sipil maupun tentara), dan penonton (masyarakat) sebagai penyangga.
Perubahan politik berakibat pada terkonsentrasinya relasi sosial Ludruk. Peng-konsentrasian relasi sosial Ludruk dilakukan oleh berbagai kelompok kepentingan, baik oleh partai politik maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Henri Supriyanto menjelaskan bahwa ada penari Ngremo yang menggunakan pakaian putih-putih dan berpeci. Pakaian ini menyimbolkan semangat nasionalisme pada masanya. Semangat nasionalisme seperti ini membawa konsekuensi pada partai politik tertentu. Di samping itu, ketika peran politik dan kuatnya pengaruh Ludruk dalam periode 1950-1960-an, maka Ludruk menjadi alat penyampaian doktrin dan intimidasi bagi partai politik yang bertujuan untuk melakukan provokasi.
Selanjutnya dalam perubahan ekonomi merujuk pada beberapa hal, yakni kebutuhan hidup para pelaku Ludruk, dan kemampuan daya beli para penonton Ludruk. Ludruk memang bukan seperti kesenian lainnya yang mudah mendapatkan dukungan pendanaan. Ludruk berkembang atas inisiatif masyarakat penyangganya, sehingga perubahan ekonomi dalam Ludruk ditentukan oleh seberapa besar kelompok penyangganya mampu memberikan kontribusi. Meskipun ada yang menyangkal bahwa faktor ekonomi bukan merupakan faktor utama dalam perubahan yang terjadi pada Ludruk (seperti pendapat Suripan Saditomo, alm), namun tak dapat dipungkiri bahwa faktor ekonomi memberikan pengaruh yang sangat besar. Faktor ekonomi tidak hanya pada tingkat pelaku, tetapi juga terjadi pada tingkat pengalaman sosial yang hendak diraih masyarakat penyangganya. Pengalaman sosial juga membutuhkan ekonomisasi, seperti munculnya televisi yang memiliki kemampuan memberikan pengalaman audio-visual secara sosial. Masyarakat tidak perlu meninggalkan rumah untuk mendapatkan pengalaman sosial mereka dengan adanya sinetron, live music maupun pertunjukan-pertunjukan interaksional lainnya, seperti kuis dan SMS (short massage system) untuk mendukung idola mereka.
Bagaimanapun juga, Ludruk tetaplah sebuah teater tradisional yang kini kehidupannya sangat memprihatinkan. Tanggapan masyarakat sangat rendah, sehingga tidak ada lagi yang mau beramai-ramai mengunjungi pertunjukannya. Hal ini tentu tidak pernah dibayangkan oleh para pelaku Ludruk empat puluh tahun yang lalu. Teater tradisional Ludruk kini hanya terdapat sekitar 20-an kelompok –dari puluhan hingga ratusan kelompok Ludruk yang sebelumnya aktif mengisi waktu luang masyarakat di hampir seluruh Jawa Timur. Berdasarkan catatan Kanwil Kebudayaan, Departemen PPDK Tingkat I Surabaya, pada 1963, di Jawa Timur terdapat 549 organisasi/perkumpulan Ludruk. Sesudah 1980-an (1984/1985 terdapat 789 kelompok, 1985/1986 terdapat 771 kelompok, 1986/1987 terdapat 621 kelompok, 1987/1988 terdapat 525 kelompok (sumber: Bidang Kesenian Kanwil P dan K Provinsi Jawa Timur; Henri Supriyanto, 1994: 74). Sekarang ini, tidak lebih dari empat belas kelompok Ludruk di wilayah budaya Arek. Kehidupan mereka hanya ditopang oleh semangat untuk melestarikan Ludruk. Semangat melestarikan ini tidak didukung oleh semangat mempertahankan kehidupan mereka (para pelaku) sendiri. Hal ini menyebabkan Ludruk tidak mampu meningkatkan kualitas pertunjukannya.
II. Ludruk dan Budaya Arek
Fakta menunjukkan bahwa Ludruk berkembang di wilayah budaya Arek, yakni Surabaya, Jombang, Malang, Gresik, Sidoarjo dan Kediri, serta sebagian Blitar. Keberadaan kali (bengawan/sungai) Brantas tak bisa dipisahkan dengan kelahiran budaya Arek. Budaya arek berada di sisi timur kali Brantas , mulai dari Kediri dan perbatasan dengan Blitar hingga Malang, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Gresik hingga Surabaya. Budaya Arek Suroboyo khususnya –Arek umumnya, berawal dan tumbuh dalam beberapa tingkat. Pertama, pada masa lalu (sekitar 2000 tahun lalu), ketika Surabaya masih terbagi atas beberapa pulau kecil hingga Madura masih menjadi satu kesatuan dengan pulau Jawa, tantangan alam melahirkan kebudayaan yang bersifat khusus. Seperti dilukiskan Sugiyarto (”Pengaruh Alam Terhadap Kehidupan Sepanjang Sungai Brantas”, dalam Wiwik Hidayat, 1975: 43):
Letusan gunung berapi, hujan lebat dan angin besar seringkali memberikan tantangan kepada penghuninya di sepanjang kali Brantas. Hal ini di jawab olehnya (masyarakat) dengan tindakan-tindakan setimpal, dengan pikiran-pikiran yang mendalam dan matang guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh alam. Tantangan-tantangan ini merupakan gemblengan bagi nenek moyang kita, mereka tidak melarikan diri dari kesulitan-kesulitan itu, tapi berusaha keras untuk menundukkan dan mengatasinya. Maka timbullah kebudayaan yang berkembang dengan pesat akibat tantangan-tantangan ini. Mental dan fisik digembleng, menimbulkan renungan-renungan yang kemudian menjiwai tata kehidupannya, dan mendasari kehidupannya sebagai bangsa yang militan.
… Ujunggaluh menjadi tempat penting dan kemudian menyebabkan lahirnya Surabaya sebagai tempat yang ditakdirkan selalu harus ”Wani ing Pakewuh”, berani menghadapi kesukaran.
Pertumbuhan kebudayaan lokal dipandang sebagai suatu pertambahan yang melibatkan dan menghasilkan suatu transformasi masyarakat. Pertumbuhan (growth) menurut Spencer seperti dikutip David Kaplan dalam bukunya Teori Budaya (1999: 68) adalah proses pertambahan, sedangkan perkembangan mengandung transformasi struktur. Namun demikian, dalam kebudayaan yang dibangun oleh komunitas-komunitas, bisa berada dalam suatu transformasi sosial maupun transformasi struktural. Keduanya selalu saling berinteraksi sebagai konsekuensi dari dinamika kebudayaan yang mendorong terciptanya transformasi yang bersifat multidimen-sional. Di samping itu, kebudayaan lokal akan terus menerus melakukan penyesuaian dirinya dengan lingkungan kebudayaan yang membutuhkannya untuk terus tumbuh dan berkembang, sehingga tercipta suatu transformasi masyarakat yang sama-sama diinginkan dan diharapkan (Autar Abdillah, 2007: 11).
Dalam budaya Arek Suroboyo, tidak banyak mengenal budaya adiluhung. Budaya "adiluhung", seperti Wayang Kulit dan Wayang Orang lebih merupakan pertemuan budaya Arek Suroboyo dengan budaya Jawa Tengahan, meskipun terdapat Wayang Kulit Jawa Timuran. Di Surabaya tidak ditemukan wayang kulit yang benar-benar Suroboyoan. Wayang kulit Jawa Tengahan (Kulonan) lebih banyak diminati masyarakat (Autar Abdillah, 2007: 9). Hal ini tidak terlepas dari ekspansi kerajaan Mataram abad 17.
Identitas dalam budaya Arek Suroboyo lebih dekat sebagai suatu etnisitas yang pluralistik, artinya identitas tersebut terbentuk dari beragam unsur budaya (Autar Abdillah, 2007: 13). Ludruk dan budaya Arek memiliki sejumlah persamaan. Persamaan tersebut adalah konsep simbolik seperti (1) egaliter, (2) sikap demokratis, (3) solidaritas. Ketiga konsep ini terwujud dalam interaksi sosial sehari-hari, terutama ketika masing-masing warga masyarakat berkumpul atau bertemu dalam berbagai bentuk pertemuan. Pertemuan yang paling menonjol adalah cangkrukan. Cangkrukan sudah menjadi tradisi pertemuan informal untuk menyatakan segala sesuatu atau peristiwa yang terjadi, baik yang sudah terjadi maupun yang sedang terjadi (Autar Abdillah, 2007: 126).
Konsep simbolik egaliter muncul sebagai salah satu konsep simbolik pemersatu dalam interaksi sosial Arek. Sikap ini dipahami sebagai bentuk tidak adanya orang yang memiliki dominasi atau merasa dirinya lebih berkuasa dari yang lain. Setiap warga masyarakat adalah sama di depan umum. Kesamaan-kesamaan tersebut memberi kesan mengutamakan hubungan sosial yang dinamis ketimbang status sosial.
Sikap demokratis dan atau keterbukaan lahir sebagai dampak pertemuan etnik dan perkawinan etnik, seperti yang dilakukan pendatang Madura, Cina, Arab dan daerah sekitar Jawa Timur, Jawa Tengah dan sebagainya. Lebih jauh, Hendrikus menegaskan bahwa "Inilah yang memperkokoh kultur budaya Arek tentang keterbukaan. Wilayah budaya Arek lepas dari pusat-pusat kerajaan, daerah biasa-biasa saja, berada di luar pengaruh Majapahit dan Mataram. Daerah ini menjadi wilayah perdikan" (Autar Abdillah, 2007: 128). Solidaritas dalam budaya Arek memiliki makna penting dan mengakar dalam seluruh aktivitas sosial. Hal ini dimanifestasikan melalui pembentukan lembaga sinoman yang mengurusi aktivitas masyarakat dalam hal kelahiran, kematian dan kebersihan lingkungan.

III. Inovasi sebagai Sebuah Alternatif
Henri Supriyanto (2001: 33) menawarkan model pengembangan dan pembaruan Ludruk dalam 4 aspek, yakni:
1. tata panggung didukung oleh tata pencahayaan modern
2. tata kostum yang selaras dengan isi lakon
3. teknik tata suara, gaung, bunyi, ledakan, bunyi guruh diimitasikan berdasarkan suara asli
4. garapan lakon: diambil dari novel sastra atau cerita baru yang belum pernah dipentaskan grup lain
Berbeda dengan penawaran model pengembangan dan pembaruan yang dibuat Henri Supriyanto, para pelaku Ludruk bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan propinsi Jawa Timur mencoba mengatasi permasalahan Ludruk dengan melakukan pemadatan. Durasi pertunjukan Ludruk yang biasanya berlangsung hingga delapan jam, dicoba untuk dipentaskan hanya dalam durasi dua hingga dua setengah jam. Hasil dari percobaan ini cukup memberikan arti penting bagi pelaku Ludruk. Penonton mampu bertahan menyaksikan pertunjukan hingga akhir. Al Hirschfeld (Edwin Wilson, 1988) menegaskan "kondisi penonton merupakan unsur yang sangat diperlukan dalam satu kesatuan teater, karena teater terjadi hanya ketika penonton hadir untuk berinteraksi dengan para pemain".
Penonton Ludruk berasal dari masyarakat kelas bawah. Para pejabat pemerintah kota Surabaya pernah berupaya memasyarakat Ludruk, namun pertunjukan ini terkesan hanya basa basi para birokrat, karena tidak mampu menstimulasi Ludruk yang dapat menyentuh semua kalangan masyarakat. Ludruk membutuhkan stimulasi agar segmen masyarakatnya tidak hanya masyarakat kelas bawah.
Masyarakat kelas bawah yang selama ini menjadi penyangga Ludruk membutuhkan perubahan mendasar dalam imej yang selama ini dimilikinya. Inovasi teater tradisional Ludruk mengarah pada perubahan segmen masyarakat penyangga Ludruk. Masyarakat kelas bawah (agraris) memiliki keterbatasan dalam menopang keberlangsungan Ludruk. Mereka menjadi anggota masyarakat yang terpinggirkan dan tersisihkan oleh lajunya derap pembangunan kota, dan bombardir hiburan serba popular dari desa hingga kota (Autar Abdillah, 2003). Keterbatasan relasi sosial, sumber ekonomi (pendapatan), akses politik, dan pengembangan karakter budaya menyebabkan masyarakat kelas bawah yang menopang Ludruk tidak mampu membangun keberlangsungan Ludruk.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka alternatif inovasi teater tradisional Ludruk –di samping yang telah ditawarkan Henrikus Suprianto, adalah:
1) melakukan pemadatan sesuai dengan aktivitas masyarakat
2) mengaktualisasikan karakter budaya Arek yang melekat pada karakter Ludruk.
3) membangun imej baru terhadap Ludruk, agar dapat menjadi bagian dari eksplorasi pengalaman semua kalangan masyarakat. Imej baru tersebut dapat mencakup unsur penceritaan, para pelaku, teknik pertunjukan (termasuk penyutradaraan, peralatan panggung), gaya pertunjukan, dan instrumen pendukung. Ludruk gaul merupakan imej baru sebagai alternatif inovasi teater tradisional Ludruk di wilayah budaya Arek.

IV. Masyarakat Menentukan Pilihan: Wacana Ludruk Gaul
Teater tradisional Ludruk merupakan salah satu teater tradisional yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Selain sifatnya yang egaliter, demokratis, memiliki solidaritas yang tinggi, dan sesuai dengan pola hidup masyarakat di wilayah budaya Arek pada umumnya, juga merupakan salah satu teater tradisional yang memiliki kekhasan budaya. Ludruk dapat menjadi salah satu media dalam menjaga dan memelihara kearifan lokal.
Tujuan khususnya adalah (1) mendekatkan Ludruk sebagai pertunjukan yang bercirikan tradisional-egaliter, intim/gaul. (2) mendorong Ludruk untuk disaksikan oleh semua lapisan masyarakat, baik masyarakat kelas bawah maupun kelas atas. (3) menstimulasi tumbuhnya kelompok-kelompok Ludruk yang baru di wilayah budaya Arek khsusnya, Jawa Timur maupun di wilayah lainnya di Indonesia pada umumnya. Hal ini dimungkinkan karena Ludruk tidak harus menggunakan bahasa Jawa Timuran, tetapi dapat menggunakan bahasa yang sesuai dengan masyarakat penyangganya. Ludruk Gaul diterapkan di sekolah menengah (pertama dan atas) sebagai prioritas utama, karena sekolah memiliki kurikulum ekstra dan intrakurikuler.
Ludruk Gaul adalah sebuah pertunjukan Ludruk yang intim, terjadinya interaksi antara masyarakat penonton dan pemain Ludruk, dan dijadikannya Ludruk sebagai media pengembangan pendidikan, budi pekerti maupun moral di sekolah. Untuk itu, tanggapan masyarakat perlu diformulasikan. Ludruk perlu diformat ulang. Kajian tanggapan masyarakat (social responsibility) tentang Ludruk diharapkan meng-hasilkan bentuk-bentuk pertunjukan yang sesuai dengan zamannya. Konsepnya adalah mendekatkan atau mengintimkan masyarakat dengan Ludruk sebagai institusi sosial yang mampu memberikan semangat hidup, pemahaman tentang budi pekerti, moral dan cara-cara menghadapi persaingan hidup yang sehat. Bentuk teater tradisional yang telah melakukan modifikasi selama ini diantaranya adalah Lenong Rumpi. Media televisi di Surabaya, seperti JTv juga sedang berusaha mengembangkannya dalam bentuk Ludruk Kabaret. Namun keduanya belum mampu memenuhi aspirasi masyarakat.
Hengki Kusuma (46) menjelaskan bahwa Ludruk sekarang hanya ditonton pada saat lawakan. Hal yang sama juga diakui oleh Henrikus Supriyanto. Setelah adegan lawakan banyak penonton yang pulang. Penonton teater tradisional tidak lagi mempedulikan cerita yang ditampilkan. Cerita Ludruk yang jumlahnya sampai ratusan itu sudah dikenal sepenuhnya, baik oleh pelaku Ludruk maupun masyarakat penyangganya. Beberapa stasiun televisi swasta nasional pernah memberikan kesempatan pada sejumlah teater tradisional untuk tampil. Namun demikian, kesempatan itu tidak berlangsung lama. Masalahnya tetap sama, yakni tidak adanya cerita yang menarik perhatian dan sesuai dengan tanggapan (respon) serta aspirasi masyarakatnya.
Ikatan sosial masyarakat penyangga Ludruk yang telah merenggang harus dibangun kembali. Autar Abdillah menegaskan bahwa "Ikatan sosial merupakan ciri penting teater tradisional" (2004). Tentu bukan perkara mudah bagi seniman Ludruk untuk menjalani proses rekonstruksi dan reposisi yang sedikit banyak akan membuat para seniman merasa tidak nyaman. Namun demikian, pilihan-pilihan untuk itu tentu tidak dilakukan dengan serta merta, termasuk menjalin hubungan dengan masyarakatnya yang baru. Bagaimanapun juga, bila Ludruk masih berharap terlalu besar pada lembaga pemerintah, tentu nasib tidak akan pernah berubah. Ludruk tetap dianggap sebagai kesenangan semata, dan dianggap tidak memiliki perjuangan ekonomi bagi para pelakunya (Autar Abdillah, 2003).
Akhirnya, perlu ditegaskan kembali, bahwa inovasi teater tradisional Ludruk di wilayah budaya Arek memungkinkan dilakukan sejalan dengan pilihan masyarakat-nya, baik masyarakat penonton maupun para pelakunya. Berdasarkan karakter sosial, politik, ekonomi, dan budaya, Ludruk memiliki kesamaan-kesamaan dengan masyarakatnya. Jika masyarakat (penonton/penyangga) belum menjadikan Ludruk sebagai pilihan dalam memenuhi kebutuhan apresiasi maupun mempersepsi kehidupannya, maka Ludruk harus melakukan reformat atau mencari alternatif dalam produksinya. Ludruk Gaul menjadi wacana untuk dijadikan alternatif inovasi teater tradisional Ludruk di wilayah budaya Arek. Hal ini didasarkan pada perkembangan zaman dan orientasi segmen masyarakatnya. Dengan demikian, Ludruk (diharapkan) berpeluang menjadi bagian penting bagi pertumbuhan masyarakatnya. Semakin besar segmen masyarakat yang menjadi penyaksi Ludruk, semakin besar pula kesempatan Ludruk memberikan kontribusi pada zamannya.
Daftar Bacaan
Abdillah., Autar, 2003, "Nasib Ludruk di Balik Tobong", Kompas, November 2003
, 2004, "Teater Modern dan Tradisional", Jurnal Prasasti Vol. 52.Th.XIV Februari 2004
, 2007, Budaya Arek Suroboyo, Tesis S-2 pada Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, belum diterbitkan
Achmad., A. Kasim, 2006, Mengenal Teater Tradisional di Indonesia, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta
Kaplan., David, dan Albert A. Manners, 1999, Teori Budaya (The Theory of Culture), terjemahan Landung Simatupang, pengantar Dr. PM Laksono, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lauer., Robert H., 2003, Perspektif tentang Perubahan Sosial (judul asli: Perspectives on Social Change, penerjemah Alimandan SU), Jakarta: PT. Rineka Cipta
Peacock., James L., 2005, Ritus Modernisasi, Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia (judul asli: Rites of Modernization, Simbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama, 1968, University of Chicago, diterjemahkan oleh Eko Prasetyo), Depok: Desantara
Poloma., Margaret M., 2004, Sosiologi Kontemporer (judul asli Contemporary Sosiological Theory, ditermahkan oleh tim penerjemah Yasogama), Jakarta: Kerjasama PT. RajaGrafindo Persada dengan Yayasan Solidaritas Gajah Mada (Yasogama) Yogyakarta
Sztompka., Piƶtr, 2004, Sosiologi Perubahan Sosial (judul asli The Sociology of Social Change) dialihbahasakan oleh Alimandan, cet. 2, Jakarta: Prenada Media
Sumardjo., Jacob, 1992, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Supriyanto., Henri, 1992, Lakon Ludruk Jawa Timur, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
, 1994, "Sandiwara Ludruk di Jawa Timur (yang tersingkir dan tersungkur)", Seni Pertunjukan Indonesia, jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Mediasarana Indonesia
, 2001, Ludruk Jawa Timur, Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon, Surabaya: Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur
Wilson., Edwin, 1988, The Theater Experience, 4th edition, New York: McGraw-Hill Book Company

2 komentar:

Rudlof Jindan mengatakan...

Inovasi Pertunjukan Teater Tradisional Ludruk di Wilayah Budaya Arek"
sungguh mnginspirasi saya dalam menulis Ludruk. rencana Thesis saya mendalami Ludruk mohon bimbingannya bapak.

Kampung Budaya Arek mengatakan...

Sip