Rabu, 04 Februari 2009

Posisi dan Problem Penyutradaraan Teater Pelajar

Oleh Autar Abdillah
Teater Pelajar lebih berkonotasi pada teater sekolah menengah umum maupun kejuruan (SMP/MTs; SMU/MA; SMK). Di samping teater pelajar, juga dikenal istilah teater remaja yang lebih berkonotasi pada teater kalangan SMU/MA maupun SMK. Namun demikian, teater remaja bukan semata-mata kalangan sekolah. Mereka juga kalangan yang putus sekolah atau yang berada pada tingkat usia remaja, atau di bawah dua puluh tahunan.
Entah sejak kapan nama teater pelajar ini muncul, dan untuk apa pula penamaan semacam ini digunakan. Namun yang pasti, teater pelajar merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pertumbuhan teater itu sendiri. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI) –dalam hal ini Pusat Perbukuan, bekerjasama dengan Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) bahkan sedang merancang buku pelajaran teater untuk SMP/MTs; SMU/MA; dan SMK, baik negeri maupun swasta.
Apabila kita menilik ke belakang, kalangan terpelajar Indonesia masa lalu, atau setidaknya era Boedi Oetomo, telah mulai melakukan berbagai upaya transformatif. Embrionya dimulai dengan munculnya “Komedi Stamboel” di akhir abad sembilan belas, rombongan kedua teater ini muncul di Surabaya pada 1891. Kegairahan terhadap teater, khususnya teater yang bernuansa melayu sedemikian besar. Namun demikian, teater-teater rakyat yang muncul lebih dahulu dengan media tutur dan berkembang ke dunia panggung teater, tidak pernah luntur. Bahkan, teater-teater rakyat tersebut mampu menciptakan persaingan yang sehat, hingga zaman keemasannya pada 1920-1930-an.
Dalam memasuki abad kedua puluh, juga diwarnai munculnya teater opera Cina pada 1909. Nasibnya tak lebih baik dengan Komedi Stamboel yang mulai melemah dengan lahirnya kegairahan baru dalam memahami idiom maupun metode teater yang datang dari Rusia dan Inggris, bahkan Jerman, Perancis, Amerika dan negara-negara Skandinavia pun turut menyumbangkan pandangan-pandangan baru teater selanjutnya. Dengan demikian, kalangan terpelajar Indonesia yang masih berada di bawah penjajahan Belanda maupun Jepang memiliki banyak kesempatan memahami berbagai disiplin maupun pandangan teater.
***
Paling tidak, sejak 1913, kalangan terpelajar Indonesia menikmati karya Victor Ido yang diterjemahkan oleh Lauw Giok Lan menjadi Karina Adinda, seperti ditulis oleh Tjiong Koen Bie (1913) dan Jacob Sumardjo (1992). Kesadaran baru pada masa-masa itu, melahirkan banyak lakon-lakon perjuangan tanpa mengurangi upaya-upaya penerjemahan maupun saduran dan adaptasi yang terus menerus terhadap lakon-lakon yang datang dari dataran Eropa.
Setelah tiga puluh tahun Indonesia merdeka, meski terjadi sejumlah perubahan yang mendasar, namun saat inipun masih dapat kita saksikan, kalangan terpelajar kita menggunakan lakon-lakon yang seharusnya sudah mereka ‘reformasi’ untuk kepentingan diri mereka. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar teater pelajar justru tidak memotivasi diri mereka sendiri, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Mereka masuk dalam kubangan motif pertunjukan yang mengasingkan mereka pada dunia keseharian. Hanya beberapa kelompok teater pelajar yang mencoba melakukan berbagai penggalian untuk menemukan karakter teater dari kalangan terpelajar yang mereka sandang sebagai bagian dari identitas mereka.
Motif pertunjukan yang menjadi dasar pada teater pelajar sekarang ini berdampak cukup serius pada rendahnya apresiasi teater yang mereka hidupkan. Hal ini disebabkan oleh pengambilan bahan-bahan pertunjukan yang semata-mata pada teks lakon, apalagi teks lakon tersebut “diwajibkan” pada mereka untuk menggunakannya. Sementara itu, media untuk memasuki teks-teks lakon tersebut sangatlah terbatas. Keterbatasan tersebut bukan saja karena asumsi perkembangan teater yang masih belum memadai dalam menghadapi pertumbuhan aktivitas diluar teater, tetapi juga keterbatasan motivasi yang telah terlanjur menjadikan teater semata-mata sebagai sebuah pertunjukan.
Di samping itu, bagi kalangan sekolah, suatu aktivitas siswa dilihat dari kemampuan siswa untuk meraih prestasi yang mengharumkan nama sekolah. Dengan kata lain, kegiatan atau aktivitas berteater di sekolah tidak dilihat dari proses pencapaian teater tersebut dan dampaknya pada aktivitas belajar. Dan, lebih ironis lagi, masih terdapat sejumlah sekolah yang melakukan larangan tidak tertulis, bahwa berteater di sekolah tersebut diharamkan. Tidak ada sarana, apalagi izin untuk mengikuti kegiatan teater.
***
Masing-masing wilayah di Indonesia, memang memiliki tingkat yang berbeda dalam memasuki dunia teater. Bahkan, antar wilayah di Jawa Timur pun memiliki perbedaan signifikan satu sama lainnya. Hal ini ditentukan oleh tingkat pergaulan teater tersebut dengan berbagai pemahaman teater.
Teater pelajar di sejumlah kota-kota besar di Indonesia, barangkali cukup beruntung. Sejarah teater dan sejarah teater pelajar kita telah memberikan isyarat yang sangat tegas, bahwa teater berjalan beriringan dengan nafas kehidupan publiknya. Pada tingkat selanjutnya, teater menjadi jembatan dalam memahami pertumbuhan yang bergejolak disekitarnya. Dan, akhirnya teater tidak pernah berakhir di panggung pertunjukan. Teater berkelebat dalam darah, dalam nadi, di jantung, di hati dan ditengah-tengah denyut kehidupan semua orang, semua pihak.
Problem Penyutradaraan
Teater sekolah saat ini dapat berlangsung dalam tiga aspek apresiasi dan kreasi, yakni (1) teater di dalam kelas, (2) teater untuk kompetisi sekolah, seperti festival maupun lomba, dan (3) teater untuk terapi. Ketiga aspek ini dapat dilakukan hanya dalam satu aspek, dapat pula dilakukan secara bersamaan.
Konsepsi dasar teater di dalam kelas adalah memahami karakter antar manusia sebagai bagian dari proses sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Teater di dalam kelas dapat mengambil tema-tema yang terjadi di sekitar lingkungan siswa. Mereka apresiasi peristiwa-peristiwa yang terjadi, membuat kerangka cerita, dan menentukan peran-peran yang bisa mereka lakukan. Setelah ketiga langkah ini diselesaikan, maka para siswa bisa memperagakannya di depan kelas atau di tempat duduknya masing-masing, tanpa terbebani oleh masalah teknis artistik panggung. Guru cukup memfasilitasi dan melakukan pengawasan terhadap aktivitas siswa.
Jika kita bekerja untuk teater yang berorientasi pada kompetisi siswa –semacam festival, maka terdapat beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, pahamilah apa yang ditentukan oleh penyelenggara, termasuk instrumen penilaian yang akan digunakan. proses selanjutnya adalah berlatih. Penyutradaraan merupakan salah satu aspek penting yang dapat meminimalisir kekurangan pada aspek lain –artistik dan pemeranan. Aspek penyutradaraan tersebut adalah (a) menentukan nada dasar. Ibarat sebuah partitur lagu, maka nada dasar akan menentukan arah nada selanjutnya. Nada dasar suatu teks maupun naskah dapat dilakukan dengan memahami titik tolak dari suatu teks. Misalnya, cerita tentang seorang rentenir yang kejam. Pahamilah terlebih dahulu akar kekejaman (titik tolak untuk nada dasar) seorang rentenir yang akan dijadikan pijakan. Ikutilah terus pergerakan atau alur kekejaman. Buatlah gradasi dari setiap perubahan alur tokoh ini;
Aspek selanjutnya (b) adalah membangun dinamika ruang. Artinya, ruang pertunjukan benar-benar hidup sepanjang pertunjukan. Penonton diharapkan tidak berkedip sedikitpun, dan selalu memandangi panggung. Dinamika ruang ini tercipta melalui berbagai kemungkinan interaksi, baik antar individu, bunyi maupun dengan peralatan atau perabotan yang telah disiapkan.
Aspek lain adalah spontanitas yang menjadi ciri khusus dalam teater-teater Asia, termasuk Indonesia. Ciri ini membawa bentuk-bentuk teater di Indonesia lebih komunikatif, interaktif, dan dapat membangun muatan lokal dan kearifan lokal yang kondusif. Selain bercirikan spontanitas, teater Indonesia juga memiliki kemungkinan dalam pengembangan pengolahan tubuh yang berkorelasi dengan pembentukan kepribadian. Selain pengolahan tubuh, pikiran dan suara, mengolah tubuh juga berkaitan erat dengan pengolahan komponen kejiwaan yang sejalan dengan nilai-nilai etis, moral,sosial dan kultural. Pengolahan ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa percaya dii siswa dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya, termasuk dalam mengikuti proses pembelajaran
Sisi lain adalah gaya pertunjukan. Jawa Timur banyak memiliki sutradara dengan berbagai gaya (style) yang bersifat teknis, misalnya style internal progressive, yaitu gaya penyutradaraan yang berangkat dari potensi diri para pemainnya. Para pemain didorong untuk mengkonstruksi tubuhnya –maupun ucapannya sendiri. Sedangkan style eksternal progressive lebih menekankan kemauan sutradara. Kemauan sutradara bisa masuk pada tingkat pembentukan teknis ruang, seperti komposisi, dinamika pengisian ruang yang memang hampir tidak mungkin dilakukan seorang pemain.
Demikianlah pengantar yang dapat saya sampaikan. Diskusi dan dialog menjadi lebih penting untuk membuka pemahaman yang lebih mendalam. Semoga bermanfaat…

________________________________________
* Disampaikan dalam pelatihan guru /pembina seni teater tingkat SD/MI dan SMP/ MTs se Kab. Gresik
* staf pengajar drama pada jurusan Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.