Rabu, 26 November 2008

Dramaturgi I-11

DRAMATURGI I
Pertemuan 11

Pemikiran dan Metode
Penulis Naskah dan Sutradara

Bertolt Brecht

Bertolt Brecht. Teori dan praktek dramanya sekarang ini menduduki tempat yang sangat penting, tidak hanya untuk kaidah normatif (sebagaimana adanya) studi drama. Tetapi juga kelihatan sebagaimana nama Brecht --dan gagasannya-- muncul di mana-mana: dalam studi abad Pencerahan, teori postmodernisme, praktek dan penelitian teater kontemporer, studi kebudayaan, teori film, studi Marxis, dan sebagainya. Penonton memang merupakan titik pandang utama bagi Brecht, dan hal ini juga terdapat dalam teater perlawanan post-Brechtian, bahwa penonton sangat nyata mengambil peran yang makin produktif.
• Sejak 1930-an, Brecht memusatkan perhatiannya pada konsep teater Epik (Epic Theatre). Baginya, teater modern adalag teater Epik. Kata Epik ini sudah terdengar sejak 1924, ketika ia mengadakan perjalanan dari Munich ke Berlin (Jerman). Secara teoritis, Brecjt memadukan berbagai pembaharuan di berbagai sisi, diikuti dengan ide Marxis.
• Dalam pengantarnya untuk pertunjukan Mahagony (Mahoni), ia membandingkan teater dramatik yang tradisional dengan bentuk epik. Kata kunci yang digunakannya adalah pengalaman (experience) dengan konsepsi dunia, sugesti dengan argumen, perasaan dengan reason.
• Jika teater damatik melibatkan penonton dalam suatu aksi di atas pentas, teater epik membuat atau menempatkan penonton sebagai peninjau dan membangun aktivitasnya. Bila teater dramatik memperlakukan manusia itu sebagai entitas-yang pasti (fixed-entity), sebagai sesuatu yang tak dapat berubah. Maka, teater Epik mengartikan penonton sebagai objek penelitian (object of investigation), sebagai sesuatu yang dapat diubah atau diganti, singkatnya sebagai suatu proses. Dalam teater dramatik dipercaya bahwa kemajuan itu tak dapat dielakkan, maka teater Epik bependapat bahwa kemajuan ditentukan oleh lompatan (leaps). Begitu pula dengan penetapan adegan dalam teater dramatik yang menatapkan suatu adegan untuk adegan lainnya. Sedangkan teater epik menetapkan adegan hanya untuk dirinya sendiri.
• Dalam Little Organon for the Theatre (1949), Brecht menjelaskan:
• Karena kehadiran penonton itu tidaklah diundang untuk melemparkan dirinya ke dalam fable, seperti ke dalam singai dan membuat mereka mondari-mandir tidak menentu, maka kejadian-kejadian yang khusus (individual event), haruslah diikat bersama dalam suatu cara, sehingga simpulnya dapat ditentukan dengan jelas: kejadian-kejadian itu tidaklah berurutan satu sama lainnya tanpa terasa, tetapi suatu kejadian haruslah mampu melewati suatu pertimbangan di tengah-tengah kejadian. Dengan demikian, bagian-bagian dari fable itu dengan hati-hati di susun dari yang satu ke yang lain. Tiap-tiap kejadian di beri struktur sendiri, sehingga dapat dikatakan sebagai drama dalam drama.
• Dalam A Man’s a Man (diproduksi 1933), berkenan dengan seni peran disebutkan bahwa Cara berbicara haruslah dianalisa sesuai gerak, dan usaha dari seorang aktor teater Epik, haruslah mengusahakan agar kejadian-kejadian tertentu yang terjadi di antara manusia itu menjadi jelas, dan menempatkan manusia sebagai lingkungan. Pemeran (aktor) bukanlah tokoh tungal yang tidak bisa berubah, tetapi tokoh yang berubah terus menerus, yang kejelasan keberadaannya justru ketika ia mengalami perubahan.
• Konsep Alienasi (Verfremdung) belum muncul dalam naskah Brecht sebelum 1936. Konsep ini juga ditemukan di Rusia dengan istilah Ostrannenie. Konsep ini dimaknai sebagai kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa tertentu dalam drama itu –dalam arti inskripsi, penyisipan musik dan suara-suara serta teknik sang aktor—hendaklah ditingkatkan atau diasingkan dari batas-batas yang biasa, wajar dan diharapkan akan berfungsi sebagai suatu adegan lengkap yang berdiri sendiri.


Ringkasan
Masing-masing penulis naskah dan sutradara memiliki pemikiran dan metode yang berbeda. Namun demikian, perbedaan tersebut terkadang memiliki hubungan yang progresif satu sama lainnya. Berbagai pemikiran dan metode tersebut juga tidak terlepas dari pertumbuhan masyarakat dan dunia pemikiran teater maupun drama secara keseluruhan.

Topik Diskusi
1. Bandingkanlah pemikiran dan metode beberapa penulis naskah dan sutradara yang anda kenal
2. Cobalah temui beberapa penulis naskah dan sutradara yang tinggal di tempat anda tinggal. Cobalah catat pemikiran metode penulisan naskah atau penyutradaraan yang dilakukannnya
3. Cobalah bandingkan, antara penulis naskah yang ikut terlibat dalam penyutradaraan dengan penulis naskah yang tidak terlibat dengan penyutradaraan


Bersambung ke Pertemuan 12

Dramaturgi I-10

DRAMATURGI I
Pertemuan 10

Pengertian, Tugas, dan Fungsi Sutradara

 Guru
 Pimpinan Rombongan
 Syekh
 Dukun
 Manager
 Produser
 Sutradara (director)

Tatanan Kerja Sutradara
(pendekatan “klasik”)

A. MENENTUKAN NADA DASAR
Mencari motif lakon dan yang mempengaruhi jalannya lakon serta memiliki karakteristik
• kedalaman pemaknaan lakon dan prinsip dasar
• suasana khusus
• mempertegas arah/kecenderungan lakon (mem-perbesar maupun memperkecil), misalnya lakon tragedi, komedi, tragedi-komedi, melodrama, dst.
B. MENENTUKAN CASTING
Menentukan para pemain yang didasari atas suatu analisa lakon secara komprehensif
• casting by ability: berdasarkan kemampuan dari pemain, baik secara teknis (vokal, kecerdasan, kondisi sosio-psikologis dan fisik) dan non teknis (kesiapan dan kemauan maupun kesehatan dari pemain)
• casting by type: berdasarkan tipe fisik pemain sesuai peran yang akan dimainkan
• antitype casting/educational casting: berdasarkan konfrontasi terhadap tipe fisik pemain dan berada di luar kelaziman secara konvensional
• casting to emotional temprament: berdasarkan kecenderungan emosi maupun tempramen pemain yang merupakan bagian dari kebiasaan hidup pemain
• therapeutic-casting: berdasarkan konfrontasi watak yang dimiliki pemain yang bertujuan sebagai media penyembuhan maupun penyadaran

C. MERENCANAKAN CARA DAN TEKNIS PERTUNJUKAN
Sutradara merancang kebutuhan pertunjukan, misalnya penataan pakaian/busana, tata rias (make up), dekorasi, pencahayaan hingga ilustrasi musik berdasarkan analisis lakon dan bekerjasama dengan para penata yang memungkinkan kebutuhan pertunjukan dapat terpenuhi secara efektif dan efisien.

• MENYUSUN MISE EN SCENE
Mise en scene: segala perubahan yang terjadi pada wilayah permainan yang disebabkan oleh perpindahan atau pergerakan pemain maupun peralatan pertunjukan.
• sikap maupun gerakan serta perilaku pemain
 berbaring atau tidur
 duduk maupun berdiri di lantai maupun di kursi atau mungkin di meja
 berdiri sejajar maupun berada di tempat yang lebih tinggi
 memukul maupun melempar
• pengelompokan atau komposisi
 1/2
 1/3
 1/4
 1/5

• horizontal : tenteram, aman, sentosa, seimbang
• vertikal : ekspresi meninggi, perasa, angkuh, kekerasan/pertengkaran
• diagonal : ketegangan jiwa, pelarian
• lurus : kekuatan, kesederhanaan, datar
• melengkung : spontanitas, keramahtamahan, kegembiraan, kebebasan, sakral
• terputus-putus : kekacauan, kekalutan
• variasi saat masuk dan keluar pemain
• variasi penempatan perabotan atau peralatan yang terdapat di atas pentas
• ekspresi kontras dengan pewarnaan pada busana serta efek penataan cahaya
• kesadaran terhadap ruang
• kesadaran terhadap kedudukan masing-masing atau diantara para pemain
• menghidupkan seluruh keberadaan yang ada di atas pentas pertunjukan

MENGUATKAN MAUPUN MELEMAHKAN SCENE
• Penekanan adegan sesuai dengan interpretasi sutradara tanpa mengubah pemaknaan lakon
• Setiap adegan yang muncul dari para pemain, terkadang kurang dapat dikontrol oleh pemain, sehingga sutradara perlu memberikan penguatan pada adegan yang masih lemah, dan sebaliknya (misalnya, dalam bangunan emosi pemain), sehingga terjadi keseimbangan dalam seluruh pertunjukan

D. MENCIPTAKAN ASPEK-ASPEK LAKU/MOVEMENT
• Memperkaya permainan yang diciptakan aktor tanpa pengarahan dari sutradara (aliran laissez faire)
• Memperkaya permainan yang merupakan kreasi sutradara (aliran Gordon Craig)

MEMPENGARUHI JIWA PEMAIN
• Dalam setiap latihan maupun pertunjukan, pemain terkadang mengalami kendala psikologis atau kejiwaan, maka sutradara dapat memberikan masukan dalam memecahkan kendala yang dihadapi pemain, termasuk ketika hendak memasuki suatu peran yang dimainkannya

Identifikasi Penulis Naskah Drama
• Setiap orang memiliki riwayat hidup masing-masing. Dalam perjalanan hidup tersebut terdapat berbagai aktivitas yang dapat dikatakan memiliki nilai tersendiri atau sangat bernilai, sehingga seseorang mendapatkan penghargaan atau memiliki arti penting dalam menjalani kehidupannya. Penulis naskah membangun naskahnya dengan segala upaya membangun “potret” kehidupan yang disaksikan maupun dialaminya. Dengan demikian, naskah drama yang lahir dari seorang penulis naskah drama memiliki ikatan yang sangat erat .
• Seorang sutradara tidak dapat bersikap sesuka hatinya dengan alasan kreatif sekalipun, untuk menempatkan sebuah naskah tanpa memperhatikan sumber-sumber kreatif dari seorang penulis naskah. Saini KM mengatakan ”pembahasan yang agak mendalam tentang latar belakang naskah dan dramawannya (penulis naskah drama), dengan tergambarnya proses kreatif di belakang bahasan-bahasan, diharapkan mereka (seorang sutradara atau orang yang berminat terhadap suatu karya drama) akan memiliki pengetahuan tambahan yang menjadi penopang bagi mereka di dalam memberikan penjelasan-penjelasan kepada para siswa di sekolah” (baca Saini KM, Dramawan dan Karyanya, Bandung: Angkasa, 1993: 7-8) (bisa juga publik pada umumnya).
• Memahami latar belakang penulis lakon bisa lebih dari sebagai tambahan pengetahuan. Hal ini bisa berarti sebagai sebuah pendorong proses kreatif yang baru dalam arti bahwa karya seorang penulis lakon dapat membuka cara pandang baru bagi pembacanya, sekaligus penonton yang akan menjadi objek tontonan ketika naskah drama tersebut dipentaskan, bisa pula sebagai inspirasi dalam mengembangkan aspek-aspek teknis, seperti cara berperan, cara berucap, hingga cara memperlakukan pakaian, dan tata panggung yang dibutuhkan. Dengan kata lain, Suyatna Anirun, sutradara dan aktor dari Studiklub Teater Bandung mengatakan, bahwa “sutradara harus menyukai naskah yang bersangkutan (yang hendak dia sutradarai) hingga memungkinkan pengembangannya sebagai sumber kreativitas” (Tommy F. Awuy, at, al. (penyunting), Teater Indonesia, Konsep, Sejarah, Problema, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1999: 74). Untuk itu, sutradara harus melakukan pengkajian tentang visi/misi yang terkandung dalam naskah yang diisyaratkan oleh pengarangnya, mempelajari latar belakang pengarang dan kecenderungan-kecenderungan dalam karyanya (Awuy, 1999: 75).
Riwayat Hidup Penulis adalah upaya untuk memahami
• latar belakang kehidupan penulis
• Masa kelahiran penulis, masa pendidikan hingga kematiannya (bila penulis naskah atau orang yang menuturkan cerita tersebut telah meninggal)
• Lingkungan yang membesarkan penulis lakon
• Penulis dan zamannya adalah persentuhan penulis naskah dengan persoalan-persoalan yang berkembang pada masa hidupnya.
• Aspek Kultural Penulis adalah latar budaya yang menjadi dasar kehidupan penulis naskah, sehingga mempengaruhinya dalam menulis naskah
• Kritik merupakan tinjauan masyarakat pada umumnya, peneliti atau pengamat pada khususnya dalam membaca atau mengikuti perjalan penulis naskah dalam berkarya.
• Karya-karya terbaik merupakan gambaran terhadap karya atau ciptaan-ciptaan penulis naskah selama hidupnya yang memiliki nilai sejarah atau perubahan yang menentukan dan dipandang sebagai semacam masterpiece atau memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat.


Ringkasan

• Seorang sutradara adalah seorang pemimpin. Ia memiliki tanggungjawab secara artistik terhadap segala kebutuhan pertunjukan, mulai dari mempersiapkan materi cerita atau naskah atau problema keseharian hingga menjadi sebuah pertunjukan.
• Pada awalnya, penyutradaraan teater di anggap sebagai bentuk pengajaran. Orang Yunani menyebutnya didaskalos, yang berarti “guru”. Guru memberikan berbagai kebijakan dan teknik bermain berdasarkan konvensi atau aturan-aturan yang ada. Pada tahap ini, karya drama juga sering muncul dari para guru. Pada abad tujuh belas, dikenal dengan sebutan pengarang-guru-sutradara.
• Sutradara dalam teater tradisional, tidak secara langsung menjadi pengarang atau penulis cerita atau lakon, karena lakon dalam teater tradisional bersifat turun temurun. Bukan saja sutradara yang sudah memahami lakon itu, tetapi rakyat kebanyakan juga mengetahui cerita yang dimainkan. Sehingga, peran yang diambil sutradara bersama para pemainnya adalah menceritakan kembali lakon secara verbal berdasarkan dari cerita tutur tersebut.
• Sutradara juga harus mencoba menghindari terlalu banyak pemeran yang memiliki bentuk tubuh yang sama, atau kualitas vokal yang sama, bila ia membutuhkan adanya kontras. Jadi, ada semacam keseimbangan yang hendak dicapai: mencari pemeran-pemeran yang cocok untuk suatu peran yang khusus, disamping terciptanya kerjasama dalam kerja teater secara berkesinambungan.
• Seorang sutradara hendaklah memahami, bahwa peran merupakan sumber plot, sebab kejadian-kejadian dapat dikembangkan, terutama melalui ucapan dan akting para pemeran itu. Perbuatan manusia yang saling bertentangan atau berbenturan melahirkan peristiwa. Pada dasarnya, setiap manusia selalu ingin memenuhi semua keinginannya. Hal itu akan mengembangkan suatu peristiwa menjadi rentetan peristiwa-peristiwa yang berkelanjutan.
• Dalam setiap peristiwa terdapat pola-pola yang selalu terbentuk. Pola tersebut menjadi semacam permainan dalam kehidupan sehari-hari. Pola tersebut menjadi rangkaian aktivitas yang mencirikan kepribadian seseorang maupun kepribadian penokohan yang dimainkannya. Dalam menciptakan peran, sutradara juga melakukan pelatihan terhadap bentuk- maupun jenis-jenis gerak. Kelahiran gerak tersebut dapat distimulasi melalui berbagai cara improvisasi. Misalnya, improvisasi secara individual, secara berpasangan, dengan menggunakan perabotan, dengan melakukan tanggapan atau respon terhadap bunyi dan musik.
• Berdasarkan perangai atau tingkah laku seorang sutradara, menurut Nano Riantiarno terdapat sedikitnya empat jenis “gaya” sutradara, yakni sutradara pemarah, sutradara pendiam, sutradara cerewet, dan sutradara romantis (Awuy, 1999: 175-180). Dari keempat jenis gaya ini, seorang sutradara harus mampu menyesuaikan dirinya di tengah-tengah kominitas kelompoknya. Ada saatnya sutradara harus lebih banyak pendiam atau sebaliknya lebih cerewet. Namun demikian, harus dihindari sutradara yang banyak bersikap marah atau romantis. Bagaimanapun juga, sutradara harus mampu membangun kerjasama yang dinamis diantara para anggotanya.
• Penyutradaraan dalam teater yang dilakukan oleh seorang sutradara juga merupakan sebuah pekerjaan, dan bukan sebagai sesuatu yang bersifat iseng. Proses penyutradaraan tersebut harus dilakukan dengan serius dan membutuhkan ketekunan, keuletan hingga kesabaran yang tinggi.




Topik Diskusi

Untuk sutradara, harus mampu menyutradarai melalui sebuah produksi pertunjukan. Di samping itu, mampu menjelaskan dan memahami tujuan dan tugas sutradara –termasuk melakukan analisa naskah, serta penulis naskah. Beberapa pertanyaan di bawah ini dapat menuntun menuju kompetensi dasar Sutradara
a. Sebutkan tujuan pada tingkat fundamental dan teknis sutradara
b. Sebutkanlah tugas sutradara
c. Buatlah sebuah analisa naskah
d. Buatlah deskripsi tentang penulis naskah

Melaksanakan atau menerapkan tujuan sutradara, tugas sutradara, dan penulis naskah:
a. Temukanlah sebuah naskah atau persoalan keseharian yang menarik.
b. Lakukanlah penganalisaan dan kajian mendalam terhadap naskah atau persoalan keseharian tersebut
c. Kumpulkanlah orang-orang yang akan memerankan naskah atau persoalan keseharian tersebut, beserta segala komponen artistik dan produksi yang dibutuhkan
d. Lakukanlah latihan bersama. Latihan ini bisa dimulai dengan melakukan proses membaca secara bersama-sama, dilanjutkan dengan penyeleksian terhadap pern yang diambil oleh peserta latihan. Latihan dilanjutkan dengan melakukan proses membaca berkali-kali, dan membangun tafsiran secaradialogis. Masing-masing pihak memiliki suara yang sama. Namun demikian, seorang sutradara yang telah ditunjuk membuat arah atau rencana terhadap tafsiran-tafsiran tersebut. Sehingga, semua persoalan penyutradaraan tertuju pada diri sutradara.
e. Pertunjukkanlah hasil latihan yang telah dilakukan

Adaptasikanlah persoalan-persoalan sutradara yang terjadi di tempat pelaksanaan proses penyutradaraan.
a. Kumpulkan dan susunlah sejumlah persoalan yang ada.
b. Klasifikasikanlah persoalan-persoalan tersebut
c. Buatlah kerangka persoalan berdasarkan bagian-bagian yang saling berkaitan
d. Buatlah konsepsi dari beberapa pendapat orang lain atau peserta lain.
e. Temukanlah dasar pemikiran atau konsep atau teori dalam memecahkan persoalan tersebut

Berikut ini beberapa pernyataan untuk didiskusikan dalam kelompok:
1. Sutradara harus mengutamakan pendapat orang lain, agar dianggap demokratis
2. Sutradara adalah interpretator awal
3. Sutradara ada seorang diktator bagi kelompoknya
4. Sutradara sebaiknya memilih pemain yang wajahnya cantik dan tampan, agar penonton tertarik menyaksikannya.
5. Sutradara sebaiknya menulis naskah sendiri, agar lebih mudah memahaminya.
6. Sutradara harus mengutamakan aktor sebagai pemain dibandingkan dengan komponen lainnya, seperti penata artistik dan manajemen, karena aktorlah yang disaksikan langsung oleh penonton.
7. Terdapat tiga aspek karakter, yaitu Sosiologis, Psikologis, dan Fisiologis. Sedangkan aspek Moral bisa digunakan, bisa pula tidak.
8. Penulis naskah drama penting diketahui agar mampu memahami drama tersebut secara lebih mendalam.
9. Penulis naskah drama sebaiknya berasal dari kalangan sendiri yang memahami situasi dan kebiasaan kelompok.


Bersambung ke Pertemuan 11

Dramaturgi I-9

DRAMATURGI I
Pertemuan 9

Seni Peran Constantin Stanislavsky
Hingga Jerzy Grotowsky

• Constantin Sergeyevich Stanislavsky (1863-1938) yang lebih sering di panggil Alexeyev atau di Indonesia dengan sebutan Stanis, lahir di Moskow, 17 Januari 1863. Ia menjadi fenomenal di seluruh dunia karena temuan-temuan seni perannya sangat signifikan dalam dunia teater. Namun demikian, temuannya pada upaya persiapan seorang aktor telah menempatkan dirinya sebagai tokoh besar penemu seni peran dan keaktoran.
• Selain seni peran atau keaktoran, Stanislavsky juga seorang sutradara yang baik. Ia pelopor dalam pendekatan presentasi. Dia ingin para aktor dapat bekerjasama dan mampu mempertunjukkan serta mengkomunikasikan keseluruhan pesan yang ingin disampaikan penulis naskah.
• Di samping Stanislavsky, kita juga dapat menemukan Methode-nya Lee Strassberg, dan Psychological Naturalism-nya Uta Hagen yang menggunakan pendekatan Presentasi.
• Pendekatan seni peran Presentasi disebut juga pendekatan realisme mengutamakan identifikasi antara jiwa si aktor dengan jiwa si karakter, sambil memberi kesempatan kepada tingkah laku untuk berkembang. Perkembangan tingkah laku berasal dari situasi-situasi yang diberikan penulis naskah. The magic if, bagi Stanislavsky sebagai suatu ekspresi aksi-aksi karakter yang tergantung dari identifikasi yang dibuatnya dengan pengalaman pribadi seorang aktor.
• Berbeda dengan pendekatan Presentasi adalah pendekatan Representasi –di sebut juga pendekatan formalisme. Pendekatan Representasi mengutamakan segi ekspresi pertunjukan, baik itu dari segi fisikal, intelektual, maupun spiritual. Di samping itu, pengungkapan ekspresif, puitis, dan romantis menjadi titik tolak pula. Semuanya mengutamakan detail-detail pengungkapan yang di atur sedemikian rupa, sehingga keindahan yang diharapkan dapat terilustrasi. Tingkah laku dan status sosial, lingkungan, tradisi-tradisi di mana karakter tersebut pernah hidup, diabadikan, lalu diilustrasikan secara eksplisit. Si aktor mempelajari sejarah dan dunia tempat si karakter hidup. Si aktor menyelidiki lingkungan keluarga si karakter, umur, tinggi dan berat badan, bentuk wajah, bahkan gestur-gesturnya dan dilatih sedemikian rupa untuk dimimikkan kembali. Jadi, aktor bertugas sebagai seseorang yang merepresentasikan karakter yang dimainkan.
• Jerzy Grotowsky merupakan sutradara dan salah seorang penggagas berdirinya Theatre Laboratory. Ia mencoba menemukan salah satu konsep berperan yang kini cukup banyak diminati, terutama di Eropa. Di Indonesia, pemahaman seni perannya masih dipahami secara dangkal.
• Grotowsky menolak suatu gagasan seni peran yang disebut electicisme. Menurut dia gagasan electicisme itu palsu. Di samping itu, ia mencoba pula menentang pemahaman bahwa teater merupakan gabungan dari berbagai disiplin seni. Lalu, Grotowsky menekankan produksi pementasannya pada hubungan yang kuat antara aktor dan penonton. Bagi dia, tidak perlu ada tata rias, musik bahkan panggung sekalipun, yang penting adalah pertemuan aktor dan penonton.
• Grotowsky mengakui bahwa ia telah mempelajari dan metode yang terpenting dia pelajari dan juga di tiru sebagai pembuka perspektif metodenya, antara lain latihan irama dari Dublin, penemuan tentang reaksi ekstroversif dan introversif dari Delsarte, teori olah tubuh (physical action) Stanislavsky, latihan bio-mekanik yang dikembangkan Meyerhold, teori sistesis dari Vakhtangov, begitu pula dengan teknik latihan Opera Peking, Kathakali di India, dan teater Noh di Jepang.
• Metode yang digunakan Grotowski adalah metode Deduktif, yakni mencoba mendedusir ketrampilan-ketrampilan melalui ketegangan-ketegangan menuju situasi yang paling ekstrim, dengan mencoba membuka diri seluas-luasnya, tanpa perasaan egoistik. Aktor melakukan penyerahan diri secara total. Mereka berusaha membatasi perlawanan organ tubuh terhadap proses psikis. Denyut jantung dan reaksi saling bersaing, tubuh hilang, terbakar, penonton Cuma melihat serangkaian denyut dan tubuh. Inilah yang di sebut Via Negativa.
• Via negativa –merupakan salah satu prinsip seni peran terpenting dari Grotowski, bukanlah tumpukan keterampilan (skill), tetapi usaha menghilangkan semua penghalang. Konsentrasi tidak dipahami secara spiritual, tetapi pada komposisi peran dan konstruksi bentuk-bentuk, pada ekspresi tanda-tanda, yaitu pada segi-segi simboliknya yang tampak.
• Penyusunan suatu peranan sebagai suatu sistem tanda-tanda yang membeberkan apa yang ada di balik topeng atau kepalsuan manusia: segala dialektika tingkah laku manusia. Seseorang tidaklah akan bertingkah laku wajah atau alamiah, bila ia dihadapkan pada situasi yang mengguncangkan jiwanya.

Ringkasan
Dalam berperan atau berakting, seseorang dapat melakukan berbagai pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut memiliki konsekuensinya masing-masing-masing. Pendekatan Representasi memandang bahwa berbagai aspek formal –yang fashionable, dalam kehidupan dapat diilustrasikan dalam berperan. Sedangkan, pendekatan Presentasi memandang perlunya pendekatan berperan kejiwaaan si aktor dengan si karakter yang diperankan. Lebih jauh, Jerzy Grotowski memosisikan seni peran yang mampu membangkitkan kreativitas aktor lebih luas.


Topik Diskusi
1. Jelaskan konsep seni peran Stanislavsky
2. Bagaimana perbedaan seni peran Stanislavsky dengan Grotowsky
3. Jelaskan perbedaan seni peran Representasi dan Presentasi


Bersambung ke Pertemuan 10

Dramaturgi I-8

DRAMATURGI I
Pertemuan 8

Seni Peran
• Seni Peran atau sering juga disebut akting (acting) sama tuanya dengan keberadaan teater.
• Seni peran atau acting, dalam kamus berarti proses, cara, perbuatan memahami perilaku yang diharapkan dan dikaitkan dengan seseorang.
• Menurut Yapi Tambayong, seni peran atau acting adalah suatu pekerjaan, bukan sekedar kegiatan. Ia harus menjadi pegangan aktor sejak dini.
• Kesadaran Estetis: Kebenaran realitas diri aktor di atas realitas alami menentukan dorongan keindahan untuk diekspresikan
• Kesadaran Etis: Menerima pikiran hakiki dari yang maha kuasa
• Kesadaran Ekonomis: suatu usaha, upaya, pekerjaan dari ikhtiar kemanusiaan
ETIS





ESTETIS EKONOMIS

• Teater dapat disaksikan dengan adanya seseorang maupun sekelompok orang yang berbuat, bertindak, berperilaku, bergerak, dan berperan untuk suatu tujuan, atau mempertunjukkan karakter atau penokohan tertentu, maupun mempersonifikasikan kehidupan, itulah sang aktor.
• Aktor yang baik menurut WS Rendra (1982: 1) adalah yang bisa menjelmakan perannya dengan hidup sekali. Artinya, seorang aktor dapat meyakinkan orang lain atas peran yang dimainkannya. Misalnya, ketika seseorang memerankan petani, maka ia mampu meyakinkan orang lain bagaimana cara memegang cangkul, berbicara, maupun mengungkapkan cara-cara bertani secara meyakinkan. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsip dari seni peran, acting is believing.
• Azas Seni Peran

Non realistik

Asas-asas
Seni Peran
Ekstrospeksi
Realistik
Introspeksi
Retrospeksi

• Dengan perkataan lain, seperti disebutkan oleh Richard Boleslavsky, seseorang memerankan suatu peran merupakan proses kehidupan sukma manusia yang menerima kelahirannya berkat seni. Semua panca indera diaktifkan untuk melakukan berbagai penggalian atau penjelajahan, pencarian, dan investigasi, sehingga suatu peran benar-benar menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan yang dijalani manusia.

6 Ajaran Seni Peran Richard Boleslavsky
1 Konsentrasi atau Pemusatan Pikiran
• ”Pendidikan” Tubuh
• Pengembangan Intelektual dan Kebudayaan
• Pendidikan dan Latihan Sukma

2 Ingatan Emosi
• Ingatan terhadap gejolak jiwa yang berkembang

3 Laku Dramatis: Ekspresi Emosi
Hukum Trisesa: Hukum Alam yang terdiri dari:
• Leitmotif (Ide Pokok)
• Bagian-bagiannya
• Perwujudannya dalam Ketunggalan yang Menyeluruh

4 Pembangunan Watak
• Menelaah Struktur Psikis Peran
• Memberikan Identifikasi
• Mencari Hubungan Emosi dengan Peran
• Penguasaan Teknis
5 Observasi atau Pengamatan
• Menjelalajahi Segala Kemungkinan Pemeranan
6 Irama
Tiga Bahan Aktor
• Mimik : Pernyataan/Perbahan Raut Muka
Disebut juga bertipe Primer
• Plastik : Cara Bersikap dan Pergerakan Anggota
Badan
Disebut juga Bertipe Dramatis
• Diksi : Cara Penggunaan Suara/Ucapan
Di sebut juga Bertipe Individual

Aktor sebagai Pencipta
• Teori Tujuan Berperan
Teori Ilusi
Teori Interpretasi
• Aliran Metode Berperan
Emosional
Intelektual

Tahapan Pelatihan Aktor Teater, Film dan TV

• Kemampuan ekspresi
a. Aktor dan dirinya serta kehidupan sehari-hari
b. Aktor dan gestur
c. Pemusatan pemikiran dan relaksasi
d. Aktor dan Suaranya
e. Aktor dan Artikulasinya
f. Aktor dan Lingkungannya

• Kemampuan analisa
a. Aktor dan pikirannya
b. Ritme
c. Melodi
d. Aktor dan Naskah
e. Struktur adegan

Ringkasan
Seni peran merupakan bagian terpenting dalam teater. Pendekatan Boleslavsky hanya merupakan salah satu contoh dalam menerap-kan langkah berperan. (Dalam pertemuan selanjutnya kita akan membicarakan pendekatan dan langkah yang lain). Pemeranan di Televisi dan Radio memiliki perbedaan signifikan dengan pang-gung. Hal ini disebabkan oleh media berperan yang berbeda. Na-mun demikian, yang terpenting bagi pemeran adalah mempersiap-kan dirinya secara maksimal dan optimal melalui langkah-langkah yang sesuai dengan peran yang akan dimainkannya.

Topik Diskusi
1. Apakah yang anda pahami tentang Seni Peran?
2. Sebutkan unsur-unsur yang anda butuhkan bila anda hendak memerankan suatu peran dalam sebuah pertunjukan Teater
3. Cobalah perhatikan suatu peran yang dimainkan oleh aktor di teater. Bagaimana pendapat anda, dan apakah mereka telah menguasai langkah-langkah berperan yang ditawarkan Boleslavsky?
4. Apakah yang anda lakukan agar anda dapat melakukan pemusatan pikiran?
5. Bagaimana perbedaan seni peran panggung dengan Televisi maupun Radio? Jelaskan kelebihan dan kekurangannya!


Bersambung ke Pertemuan 9

Dramaturgi I-7

DRAMATURGI I
Pertemuan 7

Dramaturgi di lingkungan Pendidikan:
Anak-anak, Remaja dan Mahasiswa

• Anak-anak
• Drama anak-anak, drama yang dimainkan anak-anak ini memiliki beberapa ciri:
A. Drama disesuaikan dengan kecenderungan anak. Dunia bermaian anak dapat disetarakan dengan perilaku anak
B. Pilihan anak-anak –dan bukan pilihan orang tua atau dewasa, merupakan bentuk ungkapan yang didahulukan
C. Kebebasan dalam berinteraksi di dorong pada pilihan yang bersifat tuntunan, dan pembedaan yang baik dan buruk dengan segala dampak yang ditimbulkannya

• Remaja/SMP/SMU/MTs/MA
• Drama remaja, drama yang dimainkan kalangan remaja ini memiliki beberapa ciri:
A. Sesuai dengan kecenderungan sosial, psikis, dan fisik remaja
B. Bahasa gaul dan bahasa keseharian yang mendorong kreatif siswa harus didahulukan
C. Pilihan kalangan remaja harus mendapat bimbingan yang mengarahkan pada pendewasaan dirinya

• Mahasiswa
• Drama mahasiswa, drama yang dimainkan kalangan perguruan tinggi, memiliki beberapa proposisi:
A. Kemampuan berpikir dan menjadikan drama memiliki wacana yang sesuai dengan perkembangan nilai-nilai kemanusiaan yang ada, dan memerlukan proses eksplorasi bersama dalam pencapaian gagasan-gagasan yang spesifik dalam memahami suatu persoalan.
B. Konsep dramatik yang lebih luas merupakan tuntutan yang tak bisa dihindari. Segalam macam bentuk dramatik maupun teateral, bukan persoalan yang baru, tetapi persoalan yang bersinergi dengan proses kreatif yang berlangsung
• Dramaturgi di lingkungan pendidikan, bagaimanapun juga harus mengikuti arah yang tegas dalam upaya mencerdaskan kehidupan. Jadi, bukan berarti serba boleh, dan asal jadi. Justru di lingkungan pendidikan tersebut, peningkatan kualitas karya-karya drama maupun teater di bentuk sedemikian rupa, sehingga teater di luar lingkungan pendidikan dapat melakukan proses belajar.

Ringkasan
Pembedaan masing-masing wilayah usia dalam dramaturgi bukan berarti terjadi suatu perubahan signifikan dalam Dramaturgi tersebut. Perbedaan tersebut hanyalah suatu kesadaran terhadap adanya perkembangan fisik, sosial, maupun psikologis dan filosofis. Bagaimana pun juga, upaya penerapan drama sangat berkaitan dengan perkembangan dan pengalaman hidup manusia. Usia anak-anak tentulah berada dalam konteks yang lebih sederhana. Anak-anak yang masih dalam suasana dan perkembangan tubuh untuk bermain, lebih mendapatkan prioritas utama. Sedangkan drama di sekolah menengah merupakan proses pematangan usia menuju dewasa. Pemahaman drama pun mengikuti perkembangan pola pikir yang tersedia atau yang memingkinkan bagi kalangan usia sekolah menengah atau remaja. Sedangkan drama di lingkungan mahasiswa, tentu berhadapan dengan pola pendidikan yang lebih kompleks, namun memiliki berbagai substansi intelektual atau keilmuan yang sesuai dengan masing-masing kebutuhan mahasiswa.

Topik Diskusi
1. Bagaiaman pendapat anda tentang drama untuk kebutuhan pendidikan. Cobalah indentifikasi kebutuhan tersebut untuk usia anak-anak, remaja atau sekolah menengah, dan mahasiswa
2. Jelaskan pendapat anda tentang keadaan drama untuk kalangan anak-anak, remaja dan mahasiswa.
3. Apakah anda sepakat dengan adanya penjenjangan usia dalam drama. Bila anda sepakat, jelaskan pendapat anda. Dan, bila tidak sepakat, jelaskanlah pendapat anda


Bersambung ke Pertemuan 8

Budaya Lokal Masih Terabaikan

Budaya Lokal Masih Terabaikan
Sampaikan Pesan dengan Komunikasi yang Efektif


Bandung, Kompas - Pemerintah masih kurang serius mengangkat budaya lokal masyarakat. Kondisi ini harus dimanfaatkan oleh para seniman sebagai celah untuk membangun komunikasi dengan masyarakat dan mengangkatnya menjadi hasil seni.

Koreografer tari Oos Koswara mengatakan, suatu saat budaya dan kearifan lokal hanya akan menjadi sejarah. "Generasi tua biasanya menyimpan berbagai kearifan lokal menjadi bagian perilaku sehari-hari, dan jarang yang mau secara terbuka membagikannya kepada generasi muda sehingga generasi muda yang harus aktif menggali dari mereka," kata Oos, Sabtu (2/6) malam, sebelum pementasan sendratari Pangirut Marongge di Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat.

Menurut Oos, berbagai bentuk budaya lokal harus mendapat apresiasi yang lebih dari para seniman. Sebab, merekalah yang memiliki kesempatan lebih banyak untuk mengeksplorasinya.

Maman Noor, pelukis dan Ketua Juri Kompetisi Seni Lukis Jawa Barat 2007, melihat kondisi yang sama. Kegelisahan para pelukis terhadap eksistensi budaya lokal Jawa Barat diekspresikan melalui berbagai bentuk figur budaya lokal yang dipadukan dengan budaya modern.

Dalam Kompetisi Seni Lukis Jawa Barat, Maman Noor melihat, beberapa peserta mampu menuangkan kegelisahannya terhadap kelangsungan budaya lokal dalam lukisan.

Maman mengatakan, lukisan itu menunjukkan para seniman dari generasi terkini mampu memanfaatkan celah untuk mengekspresikan kegelisahan masyarakat.

Seniman Putu Wijaya berpendapat, seniman memiliki tugas ganda dalam kesehariannya. Selain mengaktualisasikan pendapat pribadi untuk disajikan dalam hasil seninya, para seniman juga menjadi corong bagi masyarakat kecil, termasuk terhadap kelangsungan budaya lokal di masyarakat.

Salah satu cara yang efektif untuk mengangkat budaya dan kearifan lokal, dengan menggelarnya sebagai tontonan bagi masyarakat.

Selama ini banyak seniman yang terjebak pada pengangkatan tema, tetapi melupakan bentuk komunikasi yang efektif dengan masyarakat sebagai penonton. Akibatnya, pesan yang ingin disampaikan tidak tercapai.

Kepala Seksi Pemanfaatan Taman Budaya Jawa Barat Romlah mengatakan, salah satu cara menyampaikan garapan para seniman kepada masyarakat adalah menggelarnya di tempat terbuka.

Kebanyakan masyarakat umum yang awam seni lebih nyaman berada di lingkungan yang mirip tempat mereka bersosialisasi sehari-hari. Di Jawa Barat pemanfaatan teater terbuka di Taman Budaya menjadi salah satu strategi untuk mengusung budaya lokal agar dikenal kembali oleh masyarakat kecil.

Jawa Barat termasuk yang mulai aktif menggelar seni pertunjukan untuk konsumsi masyarakat kecil dalam kemasan yang elegan. Di Yogyakarta seni pertunjukan sering terbentur ketersediaan ruang terbuka. Akibatnya, seni pertunjukan dikemas dengan kaku untuk memenuhi jadwal, seperti untuk acara sekaten. (aha)

Dramaturgi I-6

DRAMATURGI I
Pertemuan 6

Berbagai Aplikasi Dramaturgi

Drama Panggung
• Drama panggung merupakan karya drama yang diperuntukkan bagi media panggung
• Media panggung memiliki kekuatan face to face (tatap muka) yang lebih tinggi dari drama radio maupun televisi dan sinetron
• Tingkat komunikasi drama panggung lebih hangat. Artinya, hubungan aktor dan penonton sangat terasa dekat. Bahkan, interaksi sangat dimungkinkan terjadi

Drama Radio
• Drama radio merupakan karya drama yang diperuntukkan bagi media radio
• Media radio sangat mengutamakan efek audio. Untuk itu, bahasa auditif sangat diperlukan guna membangun karakter tokoh maupun kejelasan cerita. Meskipun dalam konteks ini peran seorang tokoh dalam menyampaikan pesan dengan penekanan kalimat demi kalimat sangat dibutuhkan.
• Komunikasi yang dingin dalam drama radio, membutuhkan kekuatan imajinatif naskah untuk menggambarkan suatu peristiwa, karena tidak ada penonton, tetapi pemirsa atau pendengar
• Penggunaan efek suara sangat dibutuhkan
• Drama radio disebut juga closet drama, karena adanya kesulitan dalam pemanggungan. Drama ini sangat mungkin untuk di baca saja. Misalnya, ada adegan pembunuhan, adegan orang terbang melayang-layang dan sebagainya.
• Drama radio Satria Madangkara pernah menjadi drama yang sangat fenomenal di Indonesia

Drama Televisi
• Drama televisi merupakan karya drama yang diperuntukkan bagi media televisi
• Berbeda dengan sinetron, karena lebih padat
• Komunikasi bersifat dingin, karena tidak ada interaksi antara penonton dan pertunjukannya.
• Bersifat audio-visual. Karena sifatnya tersebut, penonton seperti menyaksikan drama panggung, namun dalam frame yang lebih kecil.
• Drama televisi sering diproduksi dalam jumlah yang kecil
• Menurut Naratama, drama (fiksi) televisi adalah format acara televisi yang diproduksi dan dicipta melalui proses imajinasi kreatif dari kisah-kisah drama atau fiksi yang di rekayasa dan di kreasi ulang. Format yang digunakan merupakan interpretasi kisah kehidupan yang diwujudkan dalam suatu runtutan cerita dalam sejumlah adegan. Adegan-adegan tersebut akan menggabungkan antara realitas kenyataan hidup dengan fiksi atau imajinasi para kreatornya. Contoh drama percintaan (love story), tragedy, horror, komedi, legenda, aksi (action), dan sebagainya.
• Drama (non fiksi) televisi adalah format acara televisi yang di produksi dan di cipta melalui proses pengolahan imajinatif kreatif dari realitas kehidupan sehari-hari tanpa harus menginterpretasi ulang dan tanpa harus menjadi dunia khayalan. Non drama bukanlah sebuah runtutan cerita fiksi dari setiap pelakunya. Untuk itu, format-format progran acara non-drama merupakan sebuah runtutan pertunjukan kreatif yang mengutamakan unsur hiburan yang dipenuhi dengan aksi. Gaya, dan musik. Contoh: Talk Show, Konser musik, dan variety show.
• Drama televisi, berbeda dengan berita (news).


Sinetron
• Drama sinetron merupakan karya drama yang diperuntukkan bagi media sinetron (sinema elektronik)
• Mirip dengan Film, namun lebih banyak merupakan persoalan keluarga. Namun berbeda dengan film karena media yang berbeda.
• Komunikasi dingin, karena tidak ada interaksi antara penonton dan pertunjukannya.
• Bersifat audio-visual. Karena sifatnya tersebut, penonton seperti menyaksikan drama panggung, namun dalam frame yang lebih kecil.
• Telah menjadi industri, karena meningkatnya kecenderungan publik berhubungan dengan televisi. Sinetron dalam satu dasa warsa ini berkembang sedemikian pesat, karena dukungan yang besar, dan diindikasikan dapat menggantikan film dalam memenuhi tontonan publik.
• Baik Sinetron maupun drama televisi, terdapat tiga korporasi penting, yaitu produser, penyutradaraan (sutradara), dan penulis naskah
• Memiliki konteks hiburan, dan beberapa hal yang berkaitan dengan drama radio, seperti sifat drama maupun mekanisme drama fiksi dan non fiksi

Ringkasan
Penerapan drama yang sangat luas, memungkinkan drama dapat terus mengalami perkembangan yang signifikan. Namun demikian, pasang surut perkembangan penerapan drama tersebut, juga ditentukan oleh pekembangan teknologi maupun kondisi sosial ekonomi. Persoalan ekonomi menjadi penting ketika media televisi maupun radio mendapat dukungan dari iklan yang menghidupi mereka.

Topik Diskusi
1. Jelaskan perbedaan drama panggung, radio, televisi dan sinetron
2. Bagaimana pendapat anda tentang penerapan masing-masing drama panggung, radio, televisi dan televisi pada masa sekarang ini
3. Jelaskan perkembangan teknologi dalam penerapan drama


Bersambung ke Pertemuan 7
(selanjutnya –lebih rinci dan lengkap, dapat mengikuti perkuliahan Drama Televisi dan Drama Radio)

Dramaturgi I-5

DRAMATURGI I
Pertemuan 5

Konvensi Panggung, Gaya Pemanggungan,
Dialog dan Spektakel, Manajemen Pentas

• Kita mengenal empat bentuk dasar panggung (stage), yakni panggung prosenium, arena, panggung dorong, dan panggung dorong dengan tiga-perempat tempat duduk
• Bentuk-bentuk panggung ini memiliki lingkungan yang berbeda. Lingkungan ini mempengaruhi seluruh aspek pertunjukan yang ada. Pengaruh ini memiliki konvensi yang berbeda-beda pula.
• Bentuk panggung prosenium yang pertama kali diperkenalkan pada era Renaissance di Italia.
• Panggung arena kita kenal dalam banyak teater tradisional kita. Sedangkan panggung dorong belum banyak digunakan di Indonesia.
• Gaya pemanggungan dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya bentuk panggung, aliran dramatik, konsepsi sutradara, kecenderungan pemeranan aktor, dan wacana publik.

Manajemen Pementasan
• Produksi pertunjukan teater adalah kegiatan yang melibatkan banyak sektor/bagian, dan pihak terkait yang terintegratif. Sektor/bagian dan pihak-pihak tersebut dapat dibagi menjadi dua sektor, yakni Sektor Artistik yang terdiri dari Sutradara, Aktor, Penata artistik atau art director (tata panggung, tata rias, tata kostum, tata cahaya dan suara) yang dilengkapi dengan pimpinan panggung (stage manager).
• Sektor kedua adalah manajemen produksi (Pimpinan Produksi, pengembangan publik, Pemasaran, Pengelola keuangan, dan lain-lain), serta beberapa sektor yang lebih kecil lagi, seperti penjual tiket, hubungan masyarakat yang terdiri dari pengelola publikasi, pembuat dokumentasi, pencari relasi atau sponsorship
• Keseluruhan komponen tersebut bukan berarti terpisah satu sama lainnya. Bagaimanapun juga, sektor atau bidang yang bukan berkaitan dengan artistik, harus memahami berbagai kebutuhan yang diperlukan dalam penataan artistik. Kesepahaman diantara kedua bidang ini secara langsung maupun tidak langsung, saling menunjang keberhasilan produksi teater. Untuk itu pula, kedua bidang ini memiliki upaya yang sama dalam mewujudkan sebuah produksi teater. Artinya, tidak satu bidang pun yang dianggap lebih dominan satu sama lain.
• Manajemen pementasan merupakan sebuah proses produksi. Menurut James A.F. Stoner, secara intrinsik manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan pengguna sumber daya-sumber daya organisasi lainnya, agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Lebih jauh Hani Handoko menempatkan manajemen sebagai seni yang mengandung arti bahwa hal itu adalah kemampuan atau ketrampilan pribadi (1999: 8). Manajemen produksi dalam teater, memang bukan manajemen barang yang dapat dilihat secara kasat mata. Tetapi, sebuah pengelolaan produksi yang terjadi dalam satu waktu tertentu, atau sebuah pertunjukan yang sesaat. Sehingga, pola pengelolaannya berbeda dengan manajemen produksi pada umumnya.
• Melalui manajemen pementasan teater ini kita mengetahui bagaimana sebuah produksi teater dilakukan. Hal ini juga sangat penting untuk mengetahui berbagai kemampuan yang kita miliki sebelumnya, misalnya kemampuan berperan, menyutradarai, penataan artistik hingga mengelola manajemen produksi. Meminjam pernyataan Ratna Riantiarno, bahwa “berbicara produksi teater, mustahil untuk tidak membicarakan perihal manajemen yang sering dilupakan oleh para seniman/pekerja Teater, Tari atau Musik.
• Di samping itu, produksi teater tidak terlepas dengan aspek upaya mencapai tujuan, yakni memproduksi teater. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat berbagai proses yang panjang, mulai dari perencanaan produksi, pelaksanaan produksi hingga mengevaluasi proses produksi tersebut. Banyak bukti menunjukkan berbagai kegagalan dalam proses produksi teater, karena tidak terjalinnya hubungan aspek perencanaan dengan aspek pelaksanaan produksi. Begitu pula dengan banyaknya pelaksanaan produksi yang tidak berkelanjutan, karena tidak adanya aspek pengevaluasian yang baik. Hal ini bisa terjadi karena tidak semua komponen organisasi yang terlibat, memiliki kepercayaan yang sama dalam proses manajemen produksi. Satu hal pula yang sering dilupakan adalah, bahwa ”fakta kebutuhan yang di sebut William Butler Yeats, ”usaha teater, mengelola manusia (theatre bussines, management of man)” –fisik dan tekanan komersial tak dapat dihindari dalam teater sebagai insti¬tusi sosial dan ekonomi.

Ringkasan
Konvensi panggung mempengaruhi seluruh aspek yang ada di atas panggung. Sedangkan gaya pemanggungan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya karya drama, gagasan sutradara, kecenderungan penonton, dan sutuasi yang muncul dari keinginan para pelaku teater untuk membangun teater yang sesuai dengan warna kultural dan ciri suatu pertunjukan.
Dialog merupakan sarana seorang pemain atau aktor untuk mengkomunikasikan dirinya pada penonton. Sedangkan spektakel merupakan unsur tontonan besar dapat menjadi komponen maupun alat dari aktor untuk menyampaikan atau mempersembahkan dirinya pada penonton.

Struktur Manajemen Pentas Gabungan versi Teater KOMA

Produser



Sutradara

Kelompok Kelompok

Administrasi Pimpinan Produksi Manajemen

Teater Panggung

Naskah




Keuangan Marketing Rumah Tangga

-Modal -Publikasi -Sekretariat
-Penyusunan -Ticketing -Perizinan
Anggaran -Buku Acara -Tempat Latihan
-Mencatat -Sponsor -Gedung Pertunjukan
Pengeluaran -Dokumentasi -Konsumsi
-Memonitor -Humas -Transportasi
Anggaran -Keamanan
-Kesehatan




Pekerja Penata Artistik Penata Musik

-Stage Manager -Kostum -Pemusik
-Asisten Sutradara -Tata Rias & Rambut -Peralatan Musik
-Aktor/Aktris -Property -Penata Suara
-Pencatat -Seting Panggung Penyanyi
-Crew Panggung -Disain Lampu
-Pembantu -Grafis
Umum -Efek Spesial Penata Gerak
-Penari
-Aktor/Aktris

Dikutip dari:
Tommy F. Awuy, at. al (penyunting), 1999, Teater Indonesia, Konsep, Sejarah, Problema, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, hal. 360
Topik Diskusi
1. Bagaimana pendapat anda perbedaan konvensi panggung dapat mempengaruhi penerimaan penonton terhadap teater.
2. Bacalah sebuah naskah, lalu bayangkanlah bagaimana gaya pertunjukan yang tepat menurut anda. Lalu, saksikanlah pertunjukan teater, dan amatilah gaya pemanggungannya.
3. Jelaskanlah, apakah yang mempengaruhi gaya pemanggungan
4. Bagaimana peran dialog dan spektakel dalam suatu pertunjukan teater.
5. Bagaimana manajemen pementasan yang baik menurut anda, dan bagaimana anda mencermati berbagai pelaksanaan manajemen pementasan yang pernah anda saksikan


Bersambung ke Pertemuan 6

Menurunnya Apresiasi Budaya

CIREBON, (PR).-Apresiasi masyarakat Jawa Barat terhadap budaya dan kebudayaan khas daerahnya dinilai terus merosot. Hal ini merupakan ancaman serius bagi kelestariannya. Bahkan bila tidak diantisipasi bukan tidak mungkin khazanah budaya Jabar bisa terancam punah.

Demikian ditegaskan Gubernur Jabar, H. Danny Setiawan saat membuka acara "Silaturahmi & Dialog Budaya Jabar" di Keraton Kasepuhan, Kota Cirebon, Rabu (6/7). Kegiatan itu diselenggarakan LKC (Lembaga Kebudayaan Cirebon), berisi dialog soal kebudayaan serta pergelaran seni tradisional daerah di Wilayah III Cirebon yang berlangsung di depan gedung Kantor Bakorwil.

Di Keraton Kasepuhan, selain membuka acara itu, Gubernur Danny juga melakukan dialog interaktif dengan seniman, budayawan dan sejarawan dari Wilayah III Cirebon dan daerah lain di Jabar. Mendampingi Gubernur, Ketua DPRD Jabar, H.A.M., Ruslan, Sultan Kasepuhan, H. Maulana Pakuningrat, Wakil Wali Kota Cirebon, H. Agus Alwafier serta putra mahkota Kraton Kasepuhan, P.R.A. Arief Natadiningrat yang juga bertindak sebagai moderator.

Peringatan soal ancaman kepunahan budaya Jabar, dikemukakan Gubernur Danny saat memberi sambutan di depan sekira 100 peserta silaturahmi itu. Dituturkan, belakangan ini ada kecenderungan kuat bahwa apresiasi warga Jabar terhadap khazanah budayanya terus merosot.

Gempuran budaya barat yang menampilkan hedonisme dan materialisme di balik kemajuan teknologi informasi, menjadikan masyarakat Jabar secara tidak sadar berpaling dari kebudayaannya. Hal itu diperkuat oleh masih rendahnya tingkat kesalehan sosial masyarakat. "Apresiasi masyarakar Jabar terhadap khazanah budaya sendiri terus merosot. Ini sungguh mengkhawatirkan. Misalnya apresiasi terhadap seni-seni tradisional, nyaris sudah tidak ada lagi," ujar gubernur.

Menyikapi hal itu, Gubernur Danny meminta agar masyarakat Jabar, khususnya para seniman dan budayawan, harus lebih serius memperjuangkan pelestarian seni-seni tradisional. Salah satu caranya ialah dengan menghidupkan terus budaya-budaya lokal yang menjadi modal bagi kebudayaan Jabar secara umum.

"Budaya lokal harus terus dihidupkan. Ini tanggung jawab moral masyarakat, terutama seniman dan budayawannya. Mereka dituntut harus bisa menghidupkan sekaligus juga mengaktualisasikannya dengan kebutuhan zaman. Acara seperti silaturahmi dan dialog kebudayaan ini merupakan salah satunya yang perlu terus dikembangkan sebagai momentum untuk membangkitkan khazanah budaya Jabar," tuturnya.

Visi Budaya Jabar 2010

Menyinggung soal aktualisasi, Gubernur Danny meminta seniman dan budayawan merumuskan identitas khazanah budaya lokal. Setelah itu, menyusun konsep strategi kebudayaan yang bisa terus sesuai dengan nilai-nilai kekinian dan menyentuh kebutuhan warga.

"Kita harus merumuskan bagaimana supaya budaya lokal bisa menjawab tantangan kekinian yang ada di masyarakat. Misalnya sejauh mana budaya lokal bisa menghidupkan perhatian terhadap persoalan kerusakan lingkungan hidup, lahan kritis dan ancaman bencana alam. Juga dengan bagaimana mengondisikan untuk merangsang warga meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM dan banyak lagi," tutur Gubernur.

Pada kesempatan itu, Gubernur Danny juga mengemukakan soal visi Jabar pada tahun 2010. Target itu sebenarnya merupakan visi kebudayaan secara umum, bahwa Jabar ingin menjadi provinsi termaju serta mitra terdepan DKI Jakarta. "Visi itu merupakan program akselerasi (percepatan) pembangunan. Ada beberapa misi yang hendak dicapai, antaranya peningkatan SDM, pemantapan pemerintahan dan kehidupan sosial berdasarkan agama serta budaya lokal," tutur dia.(A-93/A-87)***

Dramaturgi I-4

DRAMATURGI I
Pertemuan ke 4
Tema, Alur, dan Karakter/Perwatakan

Tema:
Inti, esensi atau pokok ide suatu cerita/penceritaan

Plot /ALUR
Kerangka penceritaan yang mengubah jalannya cerita
Awal
• Protasis/Eksposisi
• Epitasio/Komplikasi
Tengah
• Catastasis/Klimaks
• Krisis
• Epitasio/ Resolusi
Akhir
• Catastrophe/Kesimpulan
• Penyelesaian
• Denoument
• Catarsis
Protasis : Awal atau permulaan suatu cerita/Eksposisi
Epitasio : Jalinan kejadian yang memunculkan berbagai pertentangan/Komplikasi
Catastasis : Puncak peristiwa/Klimaks
Catastrophe : Penutup: Bencana/Kesimpulan/Penyelesaian

Teori Pola Peristiwa Bertolak pada Tokoh Cerita
• Perubahan : Berubah Bentrok
• Belajar : Bijaksana
• Kejayaan-Kejatuhan : Baik Buruk
• Melawan Kejahatan : Perjuangan

Irama Tragik Perjalanan Spiritual
Poema (Hubris) : Kehendak (sombong)
Pathema (Nemesis) : Tantangan (Dendam)
Mathema (Dike) : Bijaksana (Keadilan Dewata)

Memahami berbagai jenis Plot:

a. Plot Linier
b. Plot Sirkuler
c. Plot Episodik
Plot Linier
cerita bergerak secara berurutan dari A-Z




A Z Plot ini sangat umum digunakan dalam karya-karya drama, karena (kesannya) lebih mudah untuk ditangkap atau diterima oleh pembacanya. Disamping itu, plot linier ini juga tidak terlalu rumit dalam proses analisanya, karena secara structural lebih singkat dan padat. Bandingkanlah dengan struktur dramatik Aristoteles yang berbentuk piramida dibawah ini:

Klimaks

Komplikasi Resolusi




Eksposisi (Katarsis) Konklusi
Secara sederhana plot ini dapat dibagi dalam tiga bagian, yakni Awal (eksposisi), Tengah (Klimaks), dan Akhir (Konklusi atau Kesimpulan)
Plot linier dapat pula disebut plot Klimaks, karena cerita dimulai pada saat terjadinya klimaks.

Plot Sirkuler
cerita berkisar pada satu peristiwa saja. Plot ini sedikit rumit bila kita tidak mengenali karakter filosofis dari karya drama tersebut. Kesiasiaan manusia yang menjadi landasan karakter filosofis plot ini, menciptakan berbagai pengulangan dan pembuatan unsur plot baru yang tidak saling berkaitan. Kaitannya, justru terletak dari ketidaklogisan hubungan antar plot. Hal ini disebabkan oleh penempatan karakter atau penokohan yang memang dirancang tidak logis, terkesan tidak masuk akal (irrasional). Namun demikian, pola antar plot ini justru sangat rasional bila kita memahami dari karakter filosofis yang dimiliki tokoh-tokoh ceritanya. Plot semacam ini dapat kita lihat dalam sebagian karya Putu Wijaya, Samuel Beckett maupun Ionesco

Plot Episodik
jalinan cerita yang terpisah, kemudian bertemu pada akhir cerita. Drama episodik awalnya dimulai secara relatif dalam cerita, dan tidak memadatkan perilaku tetapi justru memperluasnya. Kekhasan drama episodik meliputi suatu perluasan masa waktu, kadang-kadang bertahun-tahun, dan jarak tempat yang lebih jauh. Dalam satu drama kita dapat melanglang buana kemana saja: ke ruang penyimpanan kecil, ruang perjamuan yang luas, tanah lapang yang terbuka, dan puncak gunung. Adegan pendek, terkadang hanya setengah halaman atau sangat panjang, melalui adegan panjang yang berganti-ganti. Contoh yang menunjukkan alam perluasan drama episodik: Antony dan Cleopatra karya Shakespeare memiliki tiga puluh empat tokoh dan lebih empat puluh adegan, bisa juga kita lihat pada lakon Faust (Wolfgang von Goethe), dan sebagian besar hikayat dan cerita-cerita pada teater tradisional kita.

Karakter/Perwatakan
• Sosiologis
Kedudukan sosial tokoh cerita: Ayah, Ibu, Anak, Bupati, Raja, Lurah, Kepala Kampung, Dokter, Hansip, Pedagang, dll
• Psikologis
Kondisi Kejiwaan tokoh cerita: Rajin, Pemalas, Peramah, Pemarah, Iri Hati, Pembohong, Setia, Baik Hati, Sabar, dll
• Fisiologis
Keadaan Fisik tokoh cerita: Tinggi, Pendek, Kekar, Ganteng, Cantik, Berambut Ikal, Bermata Sipit, Gemuk, Kurus, dll

Latar/Setting
Tempat Terjadinya Peristiwa. Seperti Hutan belantara, ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, dll.

Ringkasan
Tema cerita memegang peranan penting, karena melalui tema cerita, pembaca drama maupun penonton teater dapat berinteraksi lebih fokus dalam memahami cerita atau pertunjukan. Sedangkan plot merupakan pedoman pembaca dalam mengetahui pergerakan cerita dari berbagai situasi yang terjadi. Karakter tokoh cerita merupakan media penting dalam memahami kontekstualisasi cerita. Dan, tempat terjadinya peristiwa merupakan pedoman interaksi yang faktual.

Topik Diskusi
1. Buatlah contoh cerita dengan mengindikasikan plot/alur awal-tengah-akhir. Lalu, tentukanlah temanya
2. Bacalah sebuah naskah drama, lalu temukanlah karakter sosiologis, psikologis dan fisiologisnya.
3. Bagaimana cara menentukan latar suatu peristiwa? Dan, bagaimana melakukan identifikasi terhadap latar yang berbeda-beda. Serta, jelaskan fungsi latar dalam suatu lakon drama.


Bersambung ke Pertemuan 5

Senin, 10 November 2008

Ifan Pentas di Festival Cak Durasim

Ahmad Hamzah Fansuri atau Ifan yang merupakan juara pertama Monolog Pekan Seni Mahasiswa Nasional di Jambi akan melakukan pentas Monolog dalam Festifal Cak Durasim, Jumat, 14 November 2008, pukul 19.00-selesai